GELARAN Moto GP yang menjadi kalender tahunan di Indonesia – khususnya di NTB, semestinya dapat berjalan tanpa polemik. Terlebih, yang “diributkan” selalu terkait tiket penginapan yang belakangan terkesan diframing menjadi penyebab tak maksimalnya tiket penjualan MotoGP.
Ketua Gili Hotel Association (GHA) Kabupaten Lombok Utara, Lalu Kusnawan, Minggu, 22 September 2024 menegaskan, Mandalika Grand Prix Association (MGPA) selaku penyelenggara utama event MotoGP sedianya bisa merangkul seluruh elemen pengusaha untuk suksesi kalender event internasional tersebut. Misalnya, mengubah pendekatan pemasaran dengan menggabungkan beberapa layanan menjadi satu unit produk, sehingga penjualan ke konsumen bisa lebih hemat dibandingkan dengan menjual secara terpisah.
“Harusnya begitu, kenapa tidak bundling, tiket pesawat, transportasi kendaraan, tiket MotoGP plus penginapan, termasuk mungkin libur ke Gili” kata Kusnawan kepada Ekbis NTB, akhir pekan kemarin,
Hanya saja, usul tersebut menurut dia, bergantung pada MGPA. Bundling bukan tidak mungkin dilakukan kendati di sisi lain, travel agent merasa ruang geraknya merasa dipersempit.
Kusnawan menyadari, banyak elemen yang terlibat di lingkar MGPA. Supporting tidak hanya dari hotel, tetapi juga agen perjalanan dan restoran. Penyamaan persepsi tersebut sangat bisa disatukan oleh pemerintah. Namun menjadi tidak fair, jika hanya satu elemen yang terus menjadi sorotan.
“Sekarang MGPA selalu soroti harga kamar, itu terus diframing. Satu sisi dia tidak mau disalahkan, kenapa tiket sedikit terjual karena anggapan tarif hotel mahal. Tapi pertanyaannya, kenapa tidak dari awal kita diajak oleh MGPA, apalagi ini event tahunan dan tahun ini yang ketiga. Idealnya cukup sekali penyelenggaraan menjadi pelajaran untuk selanjutnya dibenahi,” sambung Kus.
Tak Ansih Pergub, Tapi Hukum Pasar
Event internasional sekelas Moto GP merupakan tontonan eksklusif bagi pecinta si kuda besi. Terlebih tidak semua negara menjadi lokasi penyelenggara. Hadirnya di Sirkuit Mandalika, tentunya menjadi magnet tersendiri bagi seluruh elemen usaha, baik penerbangan, perhotelan, restoran, transportasi darat, laut, hingga usaha kecil yang dikelola masyarakat.
Ibarat sebuah usaha perdagangan, transaksi yang terjadi pada momen tersebut kerap mengacu pada hukum pasar. Namun di sisi lain, Pemprov NTB pada tahun 2022 lalu, sejatinya telah mengatur batas maksimum kenaikan harga khususnya kamar hotel. Jasa akomodasi dibolehkan naik dengan format 3x lipat, 2x lipat dan 1x lipat untuk klasifikasi wilayah ring 1, ring 2 dan ring 3.
“Untuk Tim dan Pembalap, tentu link langsung ke pihak hotel terdekat. Tidak bisa juga dipunish, dengan mengecek satu dua hotel, dipastikan semua mahal. Kita searching di area kita, homestay tarif Rp 500 ribu, masih banyak yang kosong,” jelasnya.
Ia menyambung, sebagai tontonan untuk kalangan menengah ke atas, sebenarnya aspek penginapan sudah clear. Konsumen hanya tinggal memilih opsi untuk mencapai Mandalika, apakah melalui jalur udara, laut ataukah darat.
Sebaliknya, iya meminta agar Pemerintah dan MGPA juga mempertimbangkan keberlangsungan usaha kalangan perhotelan. Manejemen cenderung menaikkan sisi suplai mengikuti naiknya permintaan.
“Bisnis hotel bukan bicara Yayasan Sosial. Supplier naik harga karena demand bertambah. Penyebabnya banyak, yang biasanya butuh sayur 1 kilo jadi 5 kilo umpama, atau tenaga kerja yang tadi 1 orang, tambah jadi 2 orang, karena yang kita layani juga banyak,” tegasnya.
Ratusan ribu penonton yang hadir saat event Moto GP berlangsung tak melulu menjadi magnet okupansi pariwisata bagi kabupaten penyokong seperti Lombok Utara. Gelaran yang dilakukan pada bulan September dan Oktober, bertepatan dengan high season khususnya di Tiga Gili. Bahkan, jika dibandingkan dengan kenaikan harga okupansi di ring 1 dan ring 2, tiga Gili yang berada di ring 3, sudah lebih dulu menyesuaikan tarif sesuai dengan permintaan pasar. “Gili tidak usah disebut, September sudah high season. Kalau Moto GP dampak kecil, boleh dibilang tidak ada,” ungkapnya.
Kus menegaskan, mulai bulan Agustus, manajemen perhotelan di 3 Gili sudah secara otomatis memasang tarif lebih tinggi dari harga normal. Kenaikan ini pun didaari oleh banyak variabel, seperti permintaan akan logistik (konsumsi), tenaga kerja, dan kebutuhan operasional lainnya. “Jadi, kalaupun Pergub direvisi untuk tahun depan, jangan hanya jasa penginapan saja yang dikontrol, akomodasi lain juga agar diawasi,” tandasnya. (ari)