Mataram (Suara NTB) – Kesehatan mental adalah fondasi penting bagi kesejahteraan individu dan masyarakat. Meski demikian, di banyak tempat kerja, kesehatan mental sering kali terabaikan. lingkungan kerja yang tidak kondusif. beban kerja yang berlebihan, serta kurangnya dukungan terhadap pekerja dapat memicu masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, bahkan burnout.
Demikian disampaikan Penjabat (PJ) Gubernur NTB Hassanudin saat menghadiri Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun 2024 di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mutiara Sukma, Jumat, 18 Oktober 2024. Hadir juga pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup Pemprov NTB dan tenaga kesehatan lainnya.
Pj Gubernur menyebut tema peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun 2024 “It’s Time to Prioritize Mental Health in The Workplace” atau “Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Jiwa di Tempat Kerja”, sangat relevan dengan tantangan yang kita hadapi saat ini, khususnya dalam konteks peningkatan kualitas hidup dan produktivitas pekerja.
Menurutnya, berdasarkan data dari organisasi kesehatan dunia (WHO), sekitar 15% dari populasi usia kerja di seluruh dunia mengalami gangguan mental. Ini adalah angka yang signifikan, mengingat dampaknya tidak hanya pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada produktivitas perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan.
Di NTB, tambahnya, tidak luput dari tantangan ini. Dengan potensi bonus demografi yang dimiliki, yaitu hampir 70% penduduk NTB berada di usia produktif. Untuk itu, menjaga kesehatan mental pekerja adalah salah satu kunci untuk meraih keuntungan dari bonus demografi tersebut.
Tidak hanya itu, pemerintah harus memastikan para pekerja, baik di sektor formal maupun informal. Menurutnya bekerja dalam lingkungan yang mendukung kesehatan mental mereka. Karena hanya dengan mental yang sehat, mereka dapat bekerja secara optimal dan memberikan kontribusi terbaik bagi keluarga, masyarakat, dan pembangunan daerah.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan fisik dan kesehatan mental. Selama masa pandemi, banyak masyarakat yang merasakan tekanan mental yang tinggi, baik karena ketidakpastian εκονομι, keterbatasan interaksi sosial, maupun tuntutan pekerjaan yang semakin berat.
WHO bahkan melaporkan prevalensi kecemasan dan depresi global meningkat hingga 25% pada tahun pertama pandemi. DI Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk mengalami gangguan mental emosional. Ini adalah peringatan keras bagi semua kesehatan Mental harus menjadi prioritas utama.
NTB, sebagai daerah yang sedang giat membangun, tentu tidak bisa mengabaikan isu ini. “Kita Harus berkomitmen untuk terus mendukung upaya peningkatan kesehatan mental masyarakat, termasuk di tempat kerja,” terangnya.
Beberapa program perlu dijalankan, ujarnya, seperti skrining kesehatan mental di kalangan pekerja, pendampingan psikososial, serta kampanye anti stigma terhadap gangguan mental, merupakan langkah konkret untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.
Namun, peran serta semua pihak sangat dibutuhkan. seluruh pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah, dunia usaha, organisasi profesi, maupun masyarakat luas, untuk bersama-sama menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas. Selain itu, setiap perusahaan dan instansi perlu menciptakan kebijakan yang mendukung kesehatan mental pekerja, seperti program keseimbangan kehidupan kerja, ruang konseling, dan pelatihan pengelolaan stres. ‘’Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga produktivitas, tetapi juga kualitas hidup setiap individu di lingkungan kerja,’’ ujarnya mengingatkan.
Hal senada disampaikan Direktur RSJ Mutiara Sukma dr. Hj. Wiwin Nurhasida. Pada tahun ini, ujarnya, pihaknya fokus meningkatkan kesadaran para pekerja di manapun bekerja agar mengutamakan kesehatan jiwa di tempat kerja. Dalam upaya melakukan ini, pihaknya memulai dengan seminar ilmiah yang mengundang masyarakat umum, instansi swasta maupun pemerintah untuk menyampaikan tentang upaya mempertahankan kondisi kesehatan jiwa di tempat kerja.
Pihaknya juga menggelar lomba foto yang melibatkan masyarakat dan karyawan pemerintah dengan caption tentang bagaimana memelihara kesehatan jiwa di tempat kerja
Diakuinya, sejalan dengan kondisi kesehatan jiwa atau isu kesehatan jiwa, pihaknya menemukan ada gangguan mental, emosional, kecemasan, depresi yang menyebabkan gangguan mental di tempat kerja. ‘’Seperti mungkin kerjaannya menumpuk, teman kerja yang mungkin atau ada bullying gitu di tempat kerja. Hal-hal seperti itulah. Jadi kalau dari hasil assessment-nya ya memang gangguan mental, emosional, ada cemas, ada depresi itu yang ditemukan,’’ terangnya.
Meski demikian, dari hasil skrining yang dilakukan pihaknya persentase jumlah pekerja yang mengalami gangguan mental hampir sama dengan kondisi nasional, yakni 15 persen. ‘’Di tempat kerja pun masalah kesehatan mental harus diperhatikan. Mungkin ketika melihat seorang pekerja tidak tampak bahagia. Itu mungkin sudah harus menjadi perhatian kita di tempat kerja. Mari kita bantu dia, dampingi dia. Mungkin dia ada masalah yang membuat mereka seperti itu,’’ ujarnya.
Untuk itu, tambahnya, ketika pimpinan unit kerja atau perusahaan yang mendapati tenaga kerjanya ada gangguan mental harus segera ditindaklanjuti dan tidak melakukan pembiaran. ‘’Itu perlu melakukan deteksi dini, kemudian menindaklanjuti jika ada. Kalau dia di tempat kerja ada masalah kesehatan jiwa, jangan di-bully , justru harus didampingi atau harus ditindaklanjuti. Jangan sampai kalau ternyata yang ada masalah gitu, di-bully malah dia jatuh dalam kondisi yang lebih parah lagi,’’ ujarnya mengingatkan. (ham)