Giri Menang (Suara NTB) – Orang tua bersama siswa siswi Lombok Barat (Lobar) menjadi korban dugaan penipuan yang dilakukan oleh oknum guru salah satu SMK di Kota Mataram. Oknum guru ini diduga memeras korban hingga puluhan juta dan dijanjikan untuk berangkat kerja ke luar negeri. Namun hingga kini tak ada kepastian. Mereka pun mengadu Komisi IV DPRD Lobar.
“Pada 2023 katanya anak ini akan diberangkatkan (bekerja) ke Jepang, trus disuruh mengeluarkan Rp15 juta. Trus 6 bulan kemudian, disuruh lagi ngeluarkan Rp25 juta dan kita disuruh harus ada saat itu juga. Jadinya kita berhutang sana-sini di bank,”terang Safarudin, salah satu orang tua korba dari Duman, Lingsar yang hadir mendampingi anaknya di gedung DPRD Lobar, Kamis, 17 Oktober 2024. Namun, mereka hingga kini sudah hampir setahun membayar tetapi tak kunjung ada kejelasan kapan akan diberangkatkan ke Jepang. Bahkan, saat para orang tua mendatangi oknum guru yang bersangkutan untuk menanyakan kejelasan dan meminta uangnya dikembalikan. Tapi yang bersangkutan disebutnya justru marah-marah. “Akhirnya kita ke rumah beliau (oknum guru) untuk tanya, kalau anak kita gak jadi berangkat, kita mau minta kembali uang kita. Tapi dia malah ngomel-ngomel,” tuturnya.
Sementara itu, ketua komisi IV DPRD Lobar, Muhali memaparkan bahwa pihaknya sudah mendengar secara langsung pengaduan para orang tua terkait dugaan penipuan yang dilalukan oknum guru terhadap anak mereka.”Kita juga belum tahu kepastiannya seperti apa. Tetapi, siswa-siswi ini diambil uangnya oleh sekolah. Apakah itu oknum kepala sekolah, itu juga sedang kami telusuri. Mereka diiming-imingi akan diberangkatkan ke luar negeri,” jelas Muhali, saat dikonfirmasi usai hearing.
Di mana para korban mengeluarkan uang kepada oknum guru tersebut dengan nominal yang berbeda-beda. Mulai dari Rp25 sampai Rp40 juta.”Kita dari komisi IV akan bersurat secara resmi ke DPRD Provinsi, karena ini adalah ranahnya,” imbuh dia. Bahkan, saat ini korbannya pun diduga sudah mencapai 5 orang, ada juga yang berasal Bima. Sehingga pihaknya menilai perlu ada perhatian khusus terhadap dunia pendidikan saat ini. Jangan sampai ke depannya, ada lagi pungutan-pungutan kepada siswa-siswi dengan menjanjikan pekerjaan. “Itu kan (pungutan dengan iming-iming pekerjaan) adalah hal yang sangat jelas sudah melanggar,” ujarnya.
Sehingga komisi IV DPRD Lobar pun dengan tegas mengatakan akan mengawal kasus ini. Sampai siapa yang terlibat menjadi pemain dibaliknya bisa segera diketahui dan ditindak secara tegas.”Kami juga akan investigasi sampai ke bawah, siapa saja yang terlibat. Untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada, seperti kwitansi dan percakapan video dari siswa juga ada,” tegasnya.
Para korban juga mengadukan, bahwa ada diantara mereka yang sudah dinyatakan lulus oleh sekolah dan akan diberangkatkan kerja ke Jepang. Namun, ternyata itu hanyalah iming-iming yang justru dianggap berakhir menjadi sebuah penipuan.”Ada 37 siswa yang dites kemudian katanya lulus untuk berangkat, tapi itu ternyata bohong. Itu hanya untuk memancing murid-murid yang ada di bawah mereka (supaya tertarik),” ungkap politisi dari PPP ini.
Muhali menyebut, melalui hearing ini, para orang tua korban masih berharap persoalan tersebut bisa segera menemui titik terang dan diselesaikan secara baik-baik. “Kami belum mengarah ke sana (menyarankan orang tua untuk lapor polisi) tentu ini kan harapan mereka masih mau dengan cara yang baik. Paling tidak, uang mereka dikembalikan lah,” tandasnya.
Namun pihaknya juga mendesak kepolisian, supaya nantinya ketika menerima laporan terkiat kasus ini, mereka bisa segera menindak pelakunya. “Supaya jangan sampai ada anak-anak kita yang jadi korban penipuan pendidikan lagi,” harap Muhali.
Hal senada disampaikan komisi IV M Munib, Pihaknya mendorong pihak yang merugikan orang tua dan siswa segera bertanggung jawab. Komisi IV kata dia, akan menindaklanjuti laporan ini dengan melakukan koordinasi ke DPRD NTB. “Kami akan koordinasikan dengan DPRD NTB, Karena korban tidak hanya warga Lobar dan lokasi nya di Mataram,”imbuhnya.
Atas kejadian ini, Pihaknya mengimbau agar warga tidak percaya dengan aktivitas pendidikan atau semacamnya yang tak jelas. (her)