Oleh: Ilham Ramdani
(Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Keluarga Islam UIN Mataram)
Dalam Islam, pernikahan adalah ikatan yang mendasari terbentuknya keluarga dan masyarakat yang sehat. Karena itu, Islam memberikan panduan rinci tentang hukum dan ketentuan pernikahan untuk memastikan keberlanjutannya. Seiring perkembangan zaman, bentuk pernikahan baru seperti Nikah Misyar muncul sebagai respons terhadap perubahan sosial.
Nikah Misyar adalah pernikahan yang secara formal memenuhi rukun dan syarat-syarat pernikahan dalam Islam, tetapi dengan pengaturan khusus yang berbeda dari pernikahan konvensional, khususnya terkait hak-hak istri. Kata “Misyar” berasal dari bahasa Arab al-sayr, yang artinya “berjalan,” dan dalam konteks ini diartikan sebagai pernikahan di mana suami hanya sesekali mengunjungi istri tanpa keharusan tinggal atau memenuhi semua kewajiban nafkah harian.
Menurut definisi terminologi, Nikah Misyar adalah pernikahan sah yang dilakukan antara pria dan wanita dengan kesepakatan bahwa istri rela mengikhlaskan sebagian hak-haknya, seperti hak atas tempat tinggal dan nafkah secara penuh dari suami. Dalam pernikahan ini, suami mungkin hanya datang mengunjungi istri pada waktu-waktu tertentu dan tidak tinggal bersama dalam satu rumah tangga secara berkelanjutan.
Penyebab Terjadinya Nikah Misyar
Alasan terjadinya Nikah Misyar beragam, baik dari sisi istri, suami, maupun masyarakat:
Dari sisi istri: Banyak wanita yang telah mencapai usia menikah atau merupakan janda tanpa pasangan, sehingga memilih mengikhlaskan haknya demi memiliki pasangan. Selain itu, ada juga wanita yang harus merawat orang tua atau memilih tinggal sendiri karena alasan karier.
Dari sisi suami: Beberapa pria memilih poligami untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya tetapi khawatir akan reaksi istri pertama. Nikah Misyar memberi jalan untuk menikah tanpa mengharuskan pembagian waktu yang adil dengan istri lain.
Dari sisi masyarakat: Tingginya biaya pernikahan dan mahar menyebabkan beberapa pria memilih Nikah Misyar sebagai alternatif. Praktik ini juga menjadi solusi bagi janda yang mampu secara finansial namun menginginkan perlindungan dari pasangan.
Pandangan Ulama Tentang Nikah Misyar dan Dalil-Dalilnya
Ulama terbagi dalam empat kelompok besar mengenai hukum Nikah Misyar:
Ulama yang Membolehkan Secara Mutlak
Ulama yang membolehkan Nikah Misyar secara mutlak, seperti Shaykh ‘Abd al-‘Aziz ibn Baz dan Shaykh Bakr Abu Zayd, berpendapat bahwa selama pernikahan ini memenuhi rukun dan syarat, maka hukumnya sah. Mereka merujuk pada Surat An-Nisa’ ayat 128:
“Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik bagi mereka…” (QS. An-Nisa’ [4]: 128)
Hadis mengenai Saudah binti Zam’ah, istri Rasulullah SAW yang mengikhlaskan hak bermalamnya kepada Aisyah, juga digunakan sebagai dasar bahwa istri boleh memberikan sebagian haknya.
Ulama yang Membolehkan tetapi Makruh
Beberapa ulama, seperti Shaykh Yusuf al-Qaradawi, menyatakan Nikah Misyar sah namun makruh karena tidak mencapai tujuan pernikahan ideal. Nikah ini hanya memenuhi kebutuhan sesaat tanpa memberikan ketentraman (sakinah) yang seharusnya ada dalam rumah tangga.
Mereka mengutip Surat Ar-Rum ayat 21, yang menjelaskan tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan ketentraman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu… agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Ulama yang Mengharamkan
Ulama seperti Shaykh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Shaykh Wahbah al-Zuhayli mengharamkan Nikah Misyar, karena dianggap bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam. Mereka berargumen bahwa pernikahan ini cenderung merugikan wanita dan tidak memenuhi hak-hak dasar istri seperti nafkah dan tempat tinggal. Mereka juga merujuk pada Surat An-Nisa’ ayat 34, yang menekankan bahwa suami memiliki tanggung jawab penuh terhadap keluarganya.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita… karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Kaidah syariat juga menyebutkan bahwa segala sesuatu yang mengarah pada kerusakan harus dihindari (al-dharar yuzal).
Ulama yang Tawaqquf (Abstain)
Sebagian ulama memilih bersikap abstain dan tidak memberikan fatwa yang jelas mengenai Nikah Misyar. Shaykh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin termasuk dalam kelompok ini, menyatakan bahwa pernikahan ini perlu dikaji lebih mendalam karena adanya pro dan kontra terkait maslahat dan mudaratnya.
Praktik Nikah Misyar di Indonesia
Di Indonesia, Nikah Misyar masih kontroversial karena belum memiliki regulasi khusus. Meskipun sah menurut sebagian ulama, praktik ini sering dianggap merugikan wanita, terutama terkait hak-hak finansial dan tempat tinggal. Karena tidak ada aturan hukum formal yang mengaturnya, Nikah Misyar dapat menyebabkan konflik hukum terkait hak-hak anak dan istri, terutama dalam hal perlindungan dan nafkah.
Sisi Positif dan Negatif Nikah Misyar
Sisi Positif
Memberikan solusi bagi wanita yang kesulitan menikah atau janda yang ingin perlindungan tanpa ikatan penuh.
Menjadi alternatif bagi pria yang tidak mampu berpoligami penuh namun membutuhkan pasangan sah secara agama.
Sebagai solusi biaya pernikahan yang tinggi di masyarakat.
Sisi Negatif
Wanita mungkin merasa hanya mendapatkan hak minimal, bahkan harus menanggung kebutuhan sendiri.
Berpotensi merugikan wanita secara psikologis karena merasa statusnya kurang dihargai.
Anak-anak yang lahir dari pernikahan ini mungkin kekurangan perhatian ayah yang jarang hadir.
Praktik ini bisa menjadi alasan bagi sebagian orang untuk menghindari kewajiban finansial dan komitmen dalam pernikahan.
Kesimpulan
Nikah Misyar adalah bentuk pernikahan yang dipraktikkan di negara-negara tertentu untuk memenuhi kebutuhan sosial dan biologis dalam batas syariah. Meskipun diperbolehkan oleh beberapa ulama, pernikahan ini tidak mencapai tujuan pernikahan yang ideal dalam Islam. Praktik ini perlu disikapi dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif, terutama bagi wanita dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan dan perhatian penuh dari keluarga. (*)
Referensi
Al-Qur’an Al-Karim.
Ibn Qudamah, ‘Abd Allah ibn Ahmad. Al-Mughni ‘Ala Mukhtasar Al-Khiraqi. Beirut: Dar Al-Fikr, 1414 H.
Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar Al-Fikr, 1985.
Yusuf al-Qaradawi, Zawaj al-Misyar Haqiqotuhu wa Hukmuhu. Cairo: Maktabah Wahbah, 1420 H.
Saepullah, Asep, dan Lilik Hanafiah. “Nikah Misyar Perspektif Yusuf Qaradawi.” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 2, No. 2, 2017.
Tri Nugroho, Agus. “Problematika Nikah Misyar dalam Tinjauan Sosiologi dan Psikologi.” Al-Qodhi: Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol. 1, No. 1, 2019.