Mataram (Suara NTB) – Permasalahan stunting masih menjadi perhatian serius pemerintah daerah untuk terus diturunkan dari waktu ke waktu. Namun, upaya menurunkan dan mencegah semakin banyak anak yang stunting harus dilakukan dengan konsisten dan berkolaborasi dengan multi stakeholder.
Hal ini disampaikan Penjabat (Pj) Gubernur NTB Hassanudin saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) Tim Percepatan Penurunan Stunting Provinsi dan Kabupaten/Kota se-NTB di Mataram, Selasa, 5 November 2024.
Acara yang diinisiasi Bappeda Provinsi NTB ini, selain adanya konsistensi dan kolaborasi, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait juga harus melakukan sinkronisasi data, baik secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota. ‘’Kita juga tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Perlu adanya kolaborasi dan sinergi dengan multi stakeholder, sehingga kasus stunting ini dapat diturunkan sesuai target nasional,’’ pesan mantan Pj Gubernur Sumatera Utara ini.
Secara nasional, ungkapnya, prevalensi stunting pada anak balita selama lima tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 9,3% yaitu dari 30,8% pada tahun 2018 menjadi 21,5% pada 2023. Â Untuk Provinsi NTB, berdasarkan hasil survei juga mengalami penurunan sebesar 8,89% yaitu dari 33,49% pada tahun 2018 menjadi 24,6% pada 2023. Sementara target nasional yang telah ditetapkan dan harus dicapai pada tahun 2024 adalah sebesar 14%. Artinya terdapat gap sebesar 10,6% yang harus diturunkan dalam tahun ini.
Di satu sisi, penurunan prevalensi stunting NTB berdasarkan pelaporan elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) selama tahun 2024 juga menunjukkan adanya penurunan. Pada bulan Januari 2024 sebesar 14,6%, menurun menjadi 12,15% atau sebanyak 50.996 balita stunting pada bulan Agustus 2024.
Meski angka tersebut sudah di bawah target nasional, ujarnya, secara keseluruhan percepatan penurunan prevalensi stunting ini perlu terus didorong untuk lebih akseleratif, terutama terkait cakupan balita yang ditimbang dan di input datanya pada e-PPGBM.
Untuk itu Pj Gubernur NTB berharap, Kabupaten/kota dapat terus meningkatkan cakupan balita yang ditimbang dan menginput seluruhnya atau 100% hasil penimbangan ke dalam e-PPGBM, sehingga seluruh balita dapat diketahui keadaan status gizinya dan mendapatkan intervensi yang sesuai.
Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian, seperti masih tingginya perkawinan usia dini. Angka perkawinan dini sebesar 17,32%, lebih tinggi dibanding angka nasional sebesar 6,92%. Ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena pasangan yang belum siap menikah akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan berisiko stunting.
Pj Gubernur juga mengingatkan pendampingan keluarga berisiko stunting oleh BKKBN juga harus terus ditingkatkan kualitasnya, sehingga seluruh keluarga berisiko stunting mendapat pendampingan guna mencegah terjadinya kasus baru balita stunting.
Faktor penyebab terjadinya stuntng yang teridentifikasi yaitu perkawinan dini, lemahnya regulasi dan kelembagaan dalam pencegahan dan penanganan stunting dan kurangnya informasi dan edukasi kepada masyarakat.
Selain itu, peran strategis Posyandu juga terus diperluas. Adanya Permendagri nomor 13 tahun 2024 tentang Pos Pelayanan Terpadu. Di mana peran Posyandu bukan saja di bidang kesehatan tetapi juga di bidang sosial, pendidikan, perumahan rakyat, pekerjaan umum, dan trantibumlinmas.
Ia berharap melalui Rakor dan evaluasi ini, dapat memperkuat koordinasi dalam upaya mempercepat penurunan stunting, sehingga setiap stakeholder baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bekerja secara sinergis dan terarah.
Pj Gubernur juga mengaku dikagetkan dengan data anak-anak yang tidak sekolah di NTB yang cukup tinggi, yakni sebanyak 79.000 orang. Sementara jumlah penduduk NTB hanya 5,5 juta. Untuk itu, pihaknya meminta masalah pendataan anak-anak yang tidak sekolah, baik yang berada di bawah koordinasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama harus terintegrasi.
Pihaknya tidak ingin satu instansi data yang disampaikan berbeda-beda. Begitu juga angka perkawinan usia anak masih tinggi. ‘’Data terakhir kita ini 17,30 persen. Ini data persentase, tapi ingat data ini tidak bisa terupdate sekian persen. Kenapa demikian? Karena ada undang undangnya. Yang masuk ke dalam itu ,18 tahun ke atas. Di bawah itu tidak masuk dalam sistem. Bahkan dicatatkan atau dilaporkan harus ada sanksi hukumnya, baik yang mengetahui, yang menikahkan atau menjadi saksi,’’ ujarnya mengingatkan.
Tingginya angka perkawinan usia dini ini, ungkapnya, belum mendapatkan perhatian serius dari aparatur pemerintah, walau melibatkan banyak sektor. Untuk itu diperlukan keseriusan dari berbagai pihak dalam menuntaskan kasus perkawinan usia dini ini, sehingga bisa diminimalisir.
Pj Gubernur menanyakan data pemberian tablet tambah darah pada siswa. Pj Gubernur menginginkan OPD yang bertanggung jawab terhadap masalah ini segera memberikan laporan, sehingga bisa diketahui perkembangannya.
‘’Hampir dua bulan lalu, kita terendah hampir 8 persen. Sekarang 37 persen kan jauh, berarti ada something gitu. Apalagi barangnya ada. Belum pendistribusian, belum dibagi, belum dikonsumsi, belum sampai sasaran (orangnya). Ada korelasi atau hubungan satu sama lain. Jadi pendampingan perlu ditingkatkan. Jangan sampai yang mendampingi tidak mengerti peran dan tugasnya,’’ tegasnya. (ham)