Mataram (Suara NTB) – Presiden RI, Prabowo Subianto menaruh atensi terhadap persoalan tambang emas ilegal di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Ketua Satuan Tugas (Satgas) Koordinator Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria melalui sambungan telepon, Senin, 11 November 2024 menyampaikan adanya atensi tersebut usai rapat koordinasi dengan sejumlah lembaga kementerian di Jakarta.
‘’Jadi, kasus ini (tambang emas ilegal Sekotong) sudah mendapat atensi dari Presiden. Nomor satu adalah persoalan penyeludupan emas,’’ kata Dian.
Dengan adanya atensi dari Presiden RI, ia mendorong Polres Lombok Barat untuk segera menuntaskan penanganan hukum dalam kasus yang diduga melibatkan tenaga kerja asing (TKA) asal China tersebut.
Selain itu, kata dia, KPK juga memantau penanganan hukum yang berjalan pada tahap penyelidikan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Gakkum LHK Jabalnusra). ‘’Semoga pekan ini LHK bisa terbit sprindik (surat perintah penyidikan),’’ harapnya.
Menurut dia, KPK dalam persoalan tambang emas ilegal di Sekotong ini telah melakukan penutupan di titik lokasi bersama pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dinas LHK NTB, dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) NTB.
Dari hasil pemetaan lapangan, KPK mendapatkan informasi bahwa aktivitas tambang ilegal di kawasan Sekotong yang diduga dikelola TKA tersebut berjalan sejak tahun 2021 di atas lahan seluas 98,16 hektare.
Lahan tersebut terungkap berada di kawasan izin usaha pertambangan (IUP) yang masuk dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Selain itu, ditemukan sebagian besar alat berat dan bahan kimia yang digunakan dalam tambang ilegal ini diimpor dari luar negeri, termasuk zat merkuri yang didatangkan dari luar negeri.
Alat berat dan terpal khusus yang digunakan untuk proses penyiraman sianida juga berasal dari China. Belum lagi melihat limbah merkuri dan sianida yang dihasilkan dari proses pengolahan emas.
Menurut KPK, kata dia, kondisi tersebut berpotensi mencemari lingkungan sekitarnya, termasuk sumber air dan pantai yang berada di bawah kawasan tambang. Dari kegiatan penambangan tersebut, KPK menerbitkan taksiran kerugian negara dari omzet satu bulan dengan nilai mencapai Rp90 miliar atau sekitar Rp1.08 triliun per tahun.
Selain adanya tiga titik lokasi penambangan yang dikelola TKA itu, Dinas LHK NTB mencatat ada sedikitnya 23 titik tambang ilegal lainnya di wilayah Sekotong.
Dengan gambaran demikian, KPK menilai negara sudah mengalami kerugian yang cukup besar. Kerugian ini diduga muncul karena adanya konspirasi antara pemegang IUP dengan operator tambang. (ant)