Mataram (suarantb.com)-Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) pada Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham RI Farid Junaedi menegaskan, Gugus Tugas Daerah Bisnis dan HAM (GTD BHAM) diharapkan dapat mendorong pelaku usaha di Provinsi NTB dalam pengisian Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma).
“Kita berharap GTD BHAM akan mampu menjembatani komunikasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam pelaksanaan Strategi Nasional Bisnis dan HAM di Provinsi NTB,” ujar Farid Junaedi ketika memberikan sambutan Pengukuhan Gugus Tugas Daerah Bisnis dan HAM Provinsi NTB di Aula Kanwil Kemenkumham NTB, Rabu, 13 November 2024.
Kegiatan tersebut dihadiri pula Sekretaris Daerah Provinsi NTB Lalu Gita Ariadi, Kakanwil Kemenkumham NTB Parlindungan, TNI/Polri, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi NTBq, dan para pelaku usaha di Provinsi NTB. Turut hadir Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kemenkumham NTB, Farida; Kepala Divisi Administrasi Kemenkumham NTB Muslim Alibar; dan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham NTB Herman Sawiran, serta Kepala UPT di lingkungan Kemenkumham se-NTB.
Dalam jangka panjang, lanjut Farid, implementasi HAM dalam dunia bisnis akan meningkatkan daya saing sektor bisnis Indonesia sehingga menjadi daya tarik bagi investor dan konsumen global. Sejumlah negara di Eropa telah menerapkan aturan produk yang masuk ke negaranya harus lolos uji tuntas HAM.
Farid menjelaskan, tugas GTD BHAM dalam Perpres Stranas BHAM pasal 7 ayat 5 yaitu mengoordinasikan dan menyelaraskan pelaksanaan Stranas BHAM di tingkat daerah; melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Stranas BHAM di tingkat daerah; serta melaporkan hasil pelaksanaan aksi BHAM kepada Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM.
Farid menuturkan, tugas GTD BHAM tidak ringan. Perlu komitmen yang kuat untuk mendukung penerapan HAM dalam menjalankan bisnis demi kesejahteraan masyarkat di Provinsi NTB. Terdapat 3 pilar dalam prinsip-prinsip panduan PBB United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs BHR) yang diperkenalkan Prof. John Ruggie yakni state duty to protect atau kewajiban negara untuk melindungi HAM. Negara dapat melindungi HAM warganya dengan membuat kebijakan HAM yang mendorong pihak swasta untuk menghormati HAM dalam menjalankan operasi bisnisnya.
Kedua, corporate responsibility to respect di mana perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia dengan melakukan penghormatan HAM. Ketiga, access to remedy atau akses terhadap pemulihan di mana negara maupun korporasi harus memiliki mekanisme pemulihan terhadap setiap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di sektor bisnis.
“Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM atau yang disebut dengan Stranas BHAM. Stranas ini diharapkan dapat menjadi panduan yang konkret dan sistematis terhadap apa yang harus dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam pengarusutamaan Bisnis dan HAM,” ujar Farid.
Farid melanjutkan, saat ini kesadaran masyarakat terhadap berbagai isu HAM seperti isu lingkungan, anak, dan hak pekerja makin membaik. Sejumlah perusahaan di Indonesia telah melakukan penilaian mandiri uji tuntas HAM melalui aplikasi Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma). Ini menjadi sinyal positif bahwa pelaku usaha semakin paham arti penting pengarusutamaan HAM dalam menjalankan roda usaha. (r/*)