Mataram (Suara NTB) – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti memberikan sinyal kuat untuk melakukan evaluasi terhadap beberapa kebijakan pendidikan di antaranya Ujian Nasional, PPDB Sistem Zonasi, dan Kurikulum Merdeka. Hal tersebut tentu saja menimbulkan pro dan kontra di masyarakat luas.
FSGI mencatat lima permasalahan guru dan pendidikan yang perlu dibenahi pemerintahan baru. Wakil Sekjen FSGI, Mansur, yang juga Ketua FSGI NTB pada Rabu, 27 November 2024 mengatakan, permasalahan pendidikan dari catatan FSGI di hari guru nasional tahun 2024, yaitu pertama, minimnya sarana prasarana untuk pembelajaran.
Menurutnya, di Kabupaten Bima masih banyak sarana dan prasarana pendidikan yang jauh dari kata layak untuk tempat proses pelaksanaan pembelajaran terutama di Sekolah Dasar (SD). Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya setiap sekolah menerapkan kurikulum tersebut, bahkan salah satu SDN di Tambora Kabupaten Bima.
“Buku-bukunya baru dipesan dan belum datang apalagi mau ganti kurikulum yang baru. Kurikulum Merdeka saja belum tuntas dipelajari dan dilaksanakan. Imbasnya para guru di daerah terutama di daerah 3 T,” ujarnya.
Kedua, kekurangan guru dan minimnya pengangkatan guru PPPK. Berdasarkan rotasi mutasi guru honorer sekolah negeri yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan setempat menimbulkan persoalan baru bagi guru-guru tersebut, dalam pendaftaran PPPK 2024 tidak bisa lanjut disebabkan lama mengajar belum memenuhi syarat dua tahun berturut-turut di sekolah induk saat ini.
“Guru sangat dirugikan melalui kebijakan ini, Harapannya pemerintah dapat mengakomodir calon guru PPPK yang terkena dampak rotasi mutasi dengan melihat TMT awal guru tersebut bertugas,” ujar Mansur.
Pemerintah telah mencanangkan pengangkatan 1 juta guru sejak tahun 2021, dengan target akan selesai di tahun 2024. Namun sampai dengan saat ini target tersebut sulit untuk terpenuhi karena pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota tidak mau atau lebih tepatnya enggan memenuhi kuota yang sudah ditetapkan pemerintah pusat.
Pada tahun 2021 ada sebanyak 293.860 guru yang menjadi guru PPPK, tahun 2022 ada 250.432 guru dan tahun 2023 ada 230.707 guru. Sehingga sampai dengan tahun 2024 ada sebanyak 774.999 orang guru yang beralih status dari guru honorer menjadi guru PPPK.
Untuk pengadaan ASN PPPK 2024 pemerintah telah menyediakan kuota sebanyak 419.146 guru untuk formasi guru PPPPK. Namun usulan dari pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota tidak mencapai angka tersebut yang membuat target pemenuhan 1 juta guru di tahun 2024 sulit terpenuhi. Apalagi angka rata-rata guru pensiun setiap tahunnya cukup tinggi lebih kurang sebanyak 70.000 guru, artinya target 1 juta guru di tahun 2021, sudah tidak up to date lagi, karena angkanya bisa jadi lebih besar.
Ketiga, data Dapodik sertifikasi guru yang bermasalah pada validasi info GTK karena linearitas jam tidak linear yang berakibat tertundanya pencairan tunjangan. Bengkulu dan Bima salah satu daerah yang mengalami penundaan pencairan sertifikasi sampai saat ini. Baru sebagian guru yang menerimanya.
Keempat, skema pencairan sertifikasi guru dari pusat ke daerah yang tidak sesuai aturan per triwulan, sehingga banyak guru yang tertunda pencairan sertifikasinya. Termasuk pembayaran TPG 1 Gaji 13 14 100 persen sertifikasi beberapa daerah seperti Bengkulu dan Bima belum terbayar sampai hari ini.
Kelima, calon siswa berkebutuhan khusus jalur inklusi. Fakta di lapangan ketika diterima sangat menyulitkan sekolah khususnya guru dalam pelayanan kegiatan belajar mengajar. Kedua, untuk SMK KKTP adalah setara dengan KKNI (Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang merujuk pada BNSP (Badan Nasional Setandar Profesi) dan ini dilakukan uji lembaga sertifikasi P-1 di Sekolah. Alih-alih khusus siswa berkebutuhan khusus belum ada juklak dan juknis terkait pembelajaran mapel produktif.
Dengan tujuan setelah siswa lulus diharapkan bisa langsung BMW (Bekerja Melanjutkan Berwirausaha), kenyataan sulit mereka bisa bersaing sesama lulusan yang sejenis dengan lulusan siswa normal. Untuk SMK setiap tahun sekolah harus melaporkan data telusur alumni atau tracer study untuk keterserapan tamatan dan masuk pada data rapor pendidikan.
Terkait semua persoalan itu, FSGI mendorong Mendikdasmen untuk lebih meningkatkan kualitas guru ketimbang mengganti kurikulum, karena pergantian kurikulum selalu berdampak pada pendidik dan peserta didik. Mereka akan selalu memulai dari nol lagi. Padahal, apapun kurikulumnya selama guru itu kreatif dan inovatif maka dengan sendirinya muridnya juga berkualitas.
“Apapun pendekatan pembelajaran yang dilakukan selama belum memahami kebutuhan dari sekolah dalam hal ini guru dan siswa maka tidak akan maksimal pelaksanaan kegiatan dari pembelajaran itu sendiri,” ujar Mansur.
FSGI juga meminta adanya perbaikan dan evaluasi dari setiap program peningkatan kompetensi guru itu adalah hal yang utama yang harus menjadi titik fokus dari Mendikdasmen yang baru ini. “Petakan kebutuhan guru dengan menanyakan pada para pendidik melalui survei. Pelatihan apa yang dibutuhkan para guru di berbagai daerah,” saran Mansur.
Selain itu, skema sertifikasi guru yang bermasalah dalam hal pencairan tunjangan guru di daerah perlu ditinjau kembali oleh pemerintahan pusat agar pencairan tunjangan langsung ke rekening guru tidak ke daerah yang mengelola.
“Pemerintah Mendikdasmen yang baru perlu membangun membuka SMK inklusi dengan sarana prasarana yang dapat menyesuaikan kebutuhan siswa dan ditangani oleh guru/pendidik yang punya kompetensi mendidik belajar bagi siswa inklusi,” pungkas Mansur. (ron)