Mataram (Suara NTB) – Kepala Bappeda NTB Dr. H Iswandi M.Si mengatakan berdasarkan instruksi Presiden No. 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, ada tiga strategi pemerintah dalam penanganan kemiskinan. Tiga strategi tersebut yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat, menurunkan beban pengeluaran serta meminimalkan wilayah kantong-kantong kemiskinan.
Penegasan tersebut disampaikan Iswandi saat memberikan laporan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi dan TKPK Kabupaten/Kota di Provinsi NTB Tahun 2024 yang mengangkat tema “Percepatan Pengentasan Kemiskinan Ekstrem Menuju NTB Tanpa Kemiskinan” yang berlangsung di Mataram, Selasa, 3 Desember 2024.
Menurut Iswandi, terhadap tiga intervensi untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut, semua OPD diharapkan ikut berperan. Sehingga semua OPD bisa mengambil bagian dari tiga hal tersebut, sekurang-kurangnya dilakukan satu intervensi guna mempercepat penuntasan kemiskinan ekstrem di NTB.
Kata Iswandi, berdasarkan tagging anggaran di Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD-RI), terdapat Rp602 miliar di tahun 2024 untuk penanganan miskin ekstrem. Dengan rincian mengurangi beban pengeluaran sebesar Rp430,2 miliar, meningkatkan pendapatan Rp. 50,6 miliar dan meminimalkan wilayah kantong kemiskinan Rp 122 miliar.
“Di dalam tagging anggaran di 2024 masih ada waktu untuk dioptimalkan. Di dalam Tagging SIPD itu ada Rp602 miliar yang sudah terpetakan dan ini yang akan dievaluasi dalam rapat TKPKD, apakah program-program OPD yang Rp430 miliar untuk mengurangi beban pengeluaran ini sudah efektif berperan menurunkan dan menyasar keluarga miskin,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyampaikan terkait dengan karakteristik kemiskinan di NTB. Dimana, berdasarkan usia, penduduk miskin ekstrem di Provinsi NTB didominasi oleh usia produktif (19-59 tahun) dengan jumlah 148.638 jiwa atau setara dengan 52,62 persen dari total masyarakat miskin ekstrem. Kedua terbesar adalah usia anak sekolah Tingkat SD (6-12 tahun) dengan jumlah 52.860 jiwa atau 18,71 persen.
Dilihat dari tingkat pendidikan, jumlah penduduk yang tidak/belum sekolah merupakan jumlah terbesar miskin ekstrem yaitu 68.940 jiwa. Selanjutnya masyarakat yang menamatkan Pendidikan dasar (SD) berada pada urutan kedua terbesar yaitu 58.350 jiwa.
“Sedangkan jumlah penduduk yang sudah menamatkan pendidikan tinggi menjadi jumlah terkecil sejumlah 751 jiwa,” terangnya.
Dilihat dari pekerjaan keluarga, petani menjadi pekerjaan yang mendominasi mata pencaharian Masyarakat miskin ekstrem sebesar 46 persen. Mereka disini bekerja sebagai buruh tani (bukan pemilik lahan). Sedangkan nelayan menjadi mata pencaharian terkecil sebesar 2 persen.
“Yang masih menjadi catatan bahwa masih ada 8 persen kepala keluarga yang belum atau tidak bekerja,” katanya.
Diukur dari kepemilikan rumah, sebagian besar atau 84 persen masyarakat miskin ekstrem memiliki rumah sendiri. Namun masih ada sebesar 15 persen atau setara dengan 9.039 KK yang berstatus bebas/sewa/menumpang. Sisanya masih bertempat tinggal di rumah dinas, ataupun mengontrak.
Jika dilihat dari sumber penerangan, sumber penerangan warga yang masuk kategori miskin ekstrem mencapai 98,2 persen sudah menggunakan Listrik dari PLN. Sisanya merupakan Listrik bukan PLN sebesar 0,5 persen dan non Listrik 1,3 persen.
Untuk diketahui, mengacu data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), warga miskin ekstrem di NTB sebanyak 282.486 jiwa. Sedangkan berdasarkan angka Regsosek, warga miskin ekstrem di daerah ini sebanyak 119.932 jiwa (ris)