Mataram (Suara NTB) – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB mengkritisi kualitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTB tahun 2025, yang dinilai buruk. Kritik tersebut muncul setelah melihat proses pembahasannya yang dilakukan oleh DPRD bersama eksekutif yang terkesan terburu-buru untuk segera disahkan.
Direktur Fitra NTB, Ramli Ernanda, menyatakan bahwa pembahasan APBD 2025 kali ini berlangsung lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kecepatan ini, menurutnya, menunjukkan adanya pengaruh politik yang lebih dominan daripada kepentingan masyarakat. Selain itu, partisipasi publik dalam proses tersebut juga sangat minim, meskipun penyusunan dan pembahasan APBD merupakan tahap yang sangat penting karena langsung berdampak pada kehidupan masyarakat.
“APBD seharusnya disusun secara transparan dan partisipatif, agar setiap rupiah yang dipungut dari masyarakat dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Ramli dalam keterangan tertulisnya kepada Suara NTB, Minggu, 2 Februari 2025.
Namun, lanjutnya, ruang publik dalam perencanaan dan pembahasan anggaran tidak tersedia sama sekali. Akibatnya, kebijakan anggaran tersebut cenderung menyimpang dari harapan masyarakat.
Perencanaan dan pembahasan APBD Provinsi NTB 2025 dilakukan lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2024, pembahasan baru dimulai pada minggu kedua bulan November. Fitra NTB mencatat bahwa pembahasan APBD 2025, yang dimulai sejak penyampaian rancangan KUA-PPAS, memerlukan sekitar 30 hari hingga akhirnya disetujui. Ini lebih lama dibandingkan dengan pembahasan APBD 2024 yang hanya memakan waktu sekitar 20 hari.
“Pertanyaannya, apakah pembahasan yang lebih awal ini berdampak pada peningkatan kualitas dan keberpihakan APBD terhadap kepentingan masyarakat? Ternyata tidak,” ujar Ramli.
Penyusunan dan pembahasan APBD 2025 juga dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni peralihan politik pasca Pemilu legislatif dan Pilpres, peralihan kepemimpinan daerah pasca Pilkada serentak 2024, dan pemberlakuan opsen pajak daerah.
“Residu politik Pemilu dan Pilkada dalam APBD 2025 masih cukup terasa. Ini dapat dilihat dari proses penyusunan, pembahasan, hingga penetapannya,” tambahnya.
Selain itu, akses terhadap dokumen RAPBD hanya dipublikasikan oleh BPKAD Provinsi NTB pada 2 Januari 2025, empat bulan setelah pembahasan. Dokumen KUA-PPAS dan RKPD yang menjadi pedoman penyusunan RAPBD tidak disediakan oleh pemerintah Provinsi NTB.
“Transparansi anggaran tahun 2025 ini jauh lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya. Informasi anggaran baru dipublikasikan pada awal tahun atau setelah ditetapkan,” ungkap Ramli.
Fitra NTB juga menyoroti kurangnya ruang partisipasi publik dalam pembahasan APBD 2025, yang terus berulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah Provinsi NTB dan DPRD NTB tidak memberikan inisiatif maupun fasilitas bagi masyarakat untuk memberikan masukan terhadap kebijakan anggaran yang disusun. “Pembahasan APBD hanya menjadi hak eksklusif TAPD, Badan Anggaran, dan anggota DPRD,” pungkasnya. (ndi)