KEBIJAKAN efisiensi belanja pemerintah yang memangkas anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen tahun 2025 ini diperkirakan akan berdampak besar pada industri pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) di Provinsi NTB.
Langkah pemerintah memangkas belanja operasional dan non-operasional, termasuk perjalanan dinas, rapat, seminar, dan sejenisnya, memicu kekhawatiran sektor perhotelan akan kembali lesu.
Pembina dan Penasehat Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra, menyataka hotel-hotel yang mengandalkan sektor MICE akan merasakan dampak paling signifikan dari kebijakan efisiensi belanja ini. Sebab hotel yang selama ini mengandalkan MICE, jika tanpa sektor tersebut hanya bisa mendatangkan 20 – 30 persen tamu.
“Sudah pasti berdampak terutama pada hotel-hotel penyelenggara MICE, karena ketergantungan mereka adalah pada perjalanan dan pertemuan. Ketika ada kebijakan seperti ini, maka otomatis akan terdampak. Hotel-hotel di kawasan kota maupun di Senggigi, jika hanya mengandalkan non MICE, maka okupansi hanya mencapai 20 – 30 persen,” ujar Lanang Patra kepada Ekbis NTB Minggu, 9 Februari 2025.
Lanang Patra menjelaskan bahwa tidak hanya hotel yang terkena imbas dari kebijakan efisiensi belanja pemerintah ini, namun juga sektor transportasi darat, penerbangan, bahkan berdampak ke petani, nelayan, dan UMKM yang selama ini menjadi pemasok logistik ke perhotelan.
“Kreativitas yang bisa dilakukan oleh pengusaha dalam kondisi seperti ini adalah efisiensi di semua bidang. Yang paling dikhawatirkan adalah dampaknya terhadap tenaga kerja, akan banyak pengangguran karena hotel akan mengurangi karyawan, bahkan terjadi PHK,” tambahnya.
Ia menambahkan, dampak yang lebih luas dari kebijakan penghematan anggaran ini adalah belanja yang berkurang, yang pada akhirnya mengganggu pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini, hotel penyelenggara MICE sampai bulan Maret masih memiliki beberapa reservasi pertemuan dan konvensi yang belum jelas nasibnya, apakah akan dibatalkan atau dilanjutkan,” ujar Lanang Patra.
Dengan kebijakan ini, sektor MICE di NTB menghadapi tantangan besar dan memerlukan kolaborasi serta kreativitas dari semua pihak untuk mengatasi dampaknya dan menjaga pertumbuhan ekonomi tetap berjalan.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran seperti dikutip dari Kompas mengemukakan, pemangkasan sejumlah kegiatan dan pengurangan anggaran perjalanan dinas pemerintah sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak Oktober 2024. Hal itu menekan okupansi hotel dan restoran serta pembatalan aktivitas MICE ketika seharusnya industri akomodasi mengalami lonjakan menjelang akhir tahun.
Menurut Maulana, masih banyak hotel, MICE, dan restoran bergantung pada acara pemerintah, baik itu seminar, konferensi, maupun pameran. Kontribusi perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah terhadap pendapatan hotel, mencapai 40-60 persen, bahkan di beberapa daerah yang kurang berkembang pariwisatanya, ketergantungan terhadap kegiatan pemerintah bisa lebih tinggi lagi.
Perkembangan industri perhotelan dan MICE turut mengerek pertumbuhan bisnis lain, seperti sektor makanan dan minuman, dengan kontribusi mencapai 40 persen terhadap pendapatan hotel. Industri perhotelan memiliki ekosistem bisnis yang menggerakkan industri terkait, seperti peralatan mandi, furnitur, perlengkapan kamar, kasur, garmen, konveksi, logistik, dan elektronik.(ris)