Mataram (Suara NTB) – Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB fokus mengelola potensi karbon biru, di kawasan konservasi perairan laut, yang terletak di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Kawasan tersebut memiliki peranan penting dalam penyerapan karbon dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB Muslim, ST., M.Si., saat dikonfirmasi melalui WhatsApp di Mataram, pada Senin (10/2).
Ia menjelaskan, Provinsi NTB memiliki banyak potensi karbon biru dengan peluang ekonomi yang baik bagi masyarakat. Pihaknya menilai kondisi terumbu karang, mangrove dan padang lamun bagus.
“NTB masih bisa memanfaatkan potensi karbon birunya itu untuk diperjualbelikan sekarang,” ucapnya.
Saat ini, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB telah menjalin kerjasama dengan NGO yang melakukan perhitungan sebaran potensi karbon biru tersebut. Hal itu dilakukan dengan menghitung nilai ekonomis untuk mendorong kesiapan daerah untuk melengkapi databasenya.
Rencana perdagangan potensi karbon biru di NTB masih tahap perhitungan evaluasi besaran nilai ekonomis. Perencanaan ini dilakukan dengan Yayasan Bentang Alam Nusantara dan NGO lainnya yang bergerak di bidang konservasi perairan.
“NTB sudah selangkah lebih siap karena sudah menghitung berapa nilainya, tidak semua wilayah bisa disasar karena keterbatasan anggaran,” katanya.
Pihaknya mengaku, wilayah NTB memiliki pasarnya tersendiri dan sumber daya manusia yang mumpuni untuk bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Meskipun konservasi perairan memiliki peluang ekonomis, transaksi harus dilakukan dengan regulasi yang baik.
Pemerintah siap menindak tegas pihak-pihak yang merusak lahan perairan dan mengganggu pemeliharaan ekosistem yang sedang berjalan. Melalui kesiapan itu, kata Muslim telah menyiapkan skema insentif bagi desa-desa yang menjaga kelestarian lautnya. Insentif tersebut diberikan melalui penambahan dana desa, untuk dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat.
Selain itu, dalam pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah NTB melibatkan pelaku usaha maupun kelompok pengawas masyarakat yang bisa mengawasi secara mandiri. “Ketika kontribusi mereka dalam mengelola kawasan konservasi itu tinggi itu tanda yang baik karena kita mengelola konservasi dengan sistem BLUD,” jelasnya.
Sebelumnya dilansir dari website resmi KKP, bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Permen KP 1 Tahun 2025 sebagai payung hukum penyelenggaraan nilai ekonomi karbon sektor kelautan. Permen tersebut menyebutkan penyelenggara nilai ekonomi karbon sektor kelautan bisa dilakukan oleh kementerian, pemerintah daerah, pelaku usaha, serta masyarakat. (nia)