Giri Menang (Suara NTB) – Pemerintah Kabupaten Lombok Barat (Pemkab Lobar) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah menyusun hasil Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Ada sejumlah hasil kajian yang diidentifikasi pemicu bencana di Lobar.
Beberapa potensi yang memicu bencana di Lobar, selain dampak hujan diidentifikasi juga pemicu lainnya. Pemicu itu di antaranya faktor lingkungan, sampah, dan hutan kritis. Selain itu, ditemukan faktor baru penyebab bencana yakni pembangun perumahan.
Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Lobar, H. Sabidin menerangkan, BPBD telah memiliki KRB. Setiap desa yang rawan bencana sudah memiliki kajiannya. “Dokumen KRB sebagai dasar kami menyusun RPB. Itu juga sudah jadi, kita susun tahun 2024,” ujarnya, Selasa, 11 Februari 2025.
Penyusunan RPB ini dilakukan bersama Non Governmental Organization (NGO) dan perguruan tinggi, Universitas Mataram (Unram) sebagai narasumber. Dalam penyusunan itu dilakukan kajian penilaian, mana yang paling tinggi risiko bencana saat ini. Salah satu risiko bencana paling tinggi, kata dia, dampak dari pembangunan perumahan, dan lainnya.
“Sehingga itu disebut munculnya sumber bencana baru, disebut seperti itu, seperti pembangunan BTN dan lainnya,” jelasnya.
Dijelaskan, dari KRB tersebut, yang menjadi prioritas pertama isu strategis kebencanaan saat ini adalah dampak pembangunan perumahan. Pembangunan perumahan ini sangat berpengaruh terhadap adanya bencana. Pembangunan BTN memicu banyak hal, yakni saluran menyempit dan lahan tertutup sehingga menjadi pemicu banjir.
Lebih lanjut, faktor lain pemicu bencana, termasuk kerusakan hutan atau lahan kritis, faktor lingkungan dan sungai. Salah satunya seperti yang terjadi di Sekotong, diakuinya penyebab bencana karena faktor lingkungan seperti hutan kritis.
“Di Sekotong dipicu penanaman dilakukan tidak dengan sistem terasering atau bertingkat. Perlu ada tanaman tegakan. Akhirnya longsor, tidak ada sarapan,” jelasnya.
Akibatnya, air gunung mengalir ke jalan hingga merusak jalan dan akses jalan tertutup material longsor yang terbawa air gunung. Tidak hanya itu, air gunung mengalir juga ke pemukiman warga sehingga mengakibatkan Banjir.
Berdasarkan hasil KRB di Lobar, ada tujuh risiko bencana, yakni gempa bumi, banjir, rob, longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, dan tsunami. Dari tujuh ini, yang paling sering terjadi banjir, longsor, kekeringan, rob, dan cuaca ekstrem.
Dari kajian ini, disampaikan ke semua OPD agar bisa melakukan perencanaan dalam pembangunan ke depan, sehingga program pembangunan OPD mengarah pada pengurangan risiko bencana. “Tinggal OPD ini mau tidak mengacu pada itu,” imbuhnya.
Kemudian dari KRB itu disusun RPB. RPB ini menyangkut cara melaksanakan penanggulangan bencana di masing-masing OPD. “Di sana sudah tergambar di dokumen tersebut, kembali lagi ke kita apakah mau atau tidak mengacu pada rencana penanggulangan bencana itu,” kata dia.
Sementara itu, Ketua komisi III DPRD Lobar Fauzi menegaskan perumahan yang menjadi sumber bencana baru harus disikapi serius. “Di sini saya melihat ketidaktaatan developer (pengembang),” tegasnya.
Padahal dalam kajian untuk syarat proses izin sudah jelas tertera ketentuan teknis yang harus ditangani ketika membangun. Dalam kajian itu jelas harus ada Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau UKL UPL. “Sebab dalam membangun itu faktor pertama yang dilihat seperti apa Amdal-nya. Kalau pun ada, itu belum tentu diterapkan,” ujarnya.
Sementara, Ketua Real Estate Indonesia (REI) NTB, H. Heri Susanto, mengakui ada benarnya saran untuk membeli rumah pada musim hujan, agar calon pembeli bisa menilai potensi banjir di daerah tersebut. Namun, ia tidak sepenuhnya sepakat jika banjir hanya disebabkan oleh pembangunan perumahan.
“Di satu sisi saya sepakat, cari rumah saat musim hujan, supaya tahu apakah itu daerah rawan banjir atau tidak,” ujar Heri Susanto. “Namun, jika banjir dikaitkan hanya dengan adanya perumahan, saya tidak sepakat,” tegasnya.
Heri memberi contoh Kali Babak, yang pernah mengalami banjir lebih dahsyat sebelum adanya perumahan di wilayah tersebut. Ia juga menyoroti kasus banjir di Banyumulek yang terjadi di wilayah itu jauh sebelum pembangunan perumahan dimulai.
Menurut Heri, kelemahan utama terletak pada kurangnya informasi yang jelas mengenai daerah yang diperbolehkan atau tidak untuk pembangunan perumahan. Informasi ini seharusnya terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan analisis risiko banjir. (her/bul)