Mataram (Suara NTB) – Universitas Mataram (Unram) bekerja sama dengan Badan Urusan Legislasi Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ((BULD DPD RI) mengadakan dialog dalam rangka monitoring tindak lanjut atas hasil pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah serta peraturan daerah terkait implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dialog ini berfokus pada kebijakan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah dan berlangsung di Ruang Sidang Senat, Rektorat Unram, pada Jumat, 21 Februari 2025,
Acara ini dihadiri oleh Pimpinan BULD DPD RI, Rektor Unram, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi NTB, perwakilan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi NTB, Wakil Rektor, Kepala Biro, Dekan, Ketua Lembaga, Direktur Pascasarjana Unram, Direktur Rumah Sakit Unram, para narasumber, moderator, serta tamu undangan lainnya.
Wakil Rektor I Bidang Akademik, Prof. Dr. Sitti Hilyana, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya sinergi dalam memajukan sumber daya manusia sebagai bagian dari keberhasilan universitas. Beliau menyoroti tantangan pengelolaan tata ruang di NTB yang terdiri dari banyak pulau dan bagaimana hal ini memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan tata ruang wilayah, terutama dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 2044.
“Kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk memajukan sumber daya manusia sebagai salah satu cita-cita seluruh universitas. Dengan banyaknya pulau di NTB, perencanaan tata ruang kita memiliki tantangan tersendiri dan harus disesuaikan dengan kondisi geografis yang unik,” ujarnya.
Pimpinan BULD DPD RI, Dr. Drs. Marthin Billa, M.M., dalam pengantar diskusinya menegaskan peran DPD RI dalam memantau dan mengevaluasi rancangan peraturan daerah serta peraturan daerah itu sendiri.
“DPD RI bertugas menjembatani kepentingan daerah dan mendorong harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah. Harmonisasi legislasi pusat dan daerah harus diperkuat agar kebijakan yang ditetapkan tidak tumpang tindih,” jelasnya.
Beliau menyoroti tantangan dalam penyesuaian RTRW dengan kebijakan nasional, termasuk ketidaksesuaian regulasi serta minimnya sosialisasi kepada pemerintah daerah yang mengakibatkan kurangnya pemahaman dan kesiapan dalam implementasi perubahan kebijakan tata ruang.
Sebagai bagian dari rangkaian acara, selanjutnya dilakukan sesi foto bersama dan pemberian cinderamata sebagai simbol penghargaan atas kerja sama yang telah terjalin.
Acara inti diskusi dalam kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Prof. Dr. Arba, S.H., H.Hum. (Pakar Hukum Tata Ruang Wilayah); Prof. Dr. Sitti Hilyana, (Pakar Pengembangan Wilayah/Tata Ruang Wilayah); dan Ni Nyoman Yuli Suryani, S.T., M.T. (Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat NTB). Diskusi dipandu oleh moderator Dr. Andi Chairil Ichsan, S.Hut., M.Si.
Selain itu, sesi diskusi dan tanya jawab turut menghadirkan Direktur Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah II Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Chriesty Elisabeth Lengkong, S.Si., M.Si., MEEM, sebagai penanggap.
Dalam sesi kesimpulan yang disampaikan oleh Mirah Midadan Fahmid, terungkap bahwa hingga saat ini masih terdapat inkonsistensi dalam tata ruang, baik di wilayah darat maupun laut.
“Implementasi UU Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 dinilai cukup untuk mengintegrasikan tata ruang, tetapi masih menghadapi kendala teknis, termasuk koordinasi lintas sektoral. Permasalahan lain yang diidentifikasi adalah sistem Online Single Submission (OSS) berbasis Risk-Based Approach (RBA) yang masih memerlukan perbaikan agar tidak hanya berfokus pada investasi, tetapi juga memperhatikan aspek perizinan yang telah dikeluarkan,” tambahnya.
Lebih lanjut, terdapat ketidaksinkronan antara UU Cipta Kerja dan UU Tata Ruang, di mana UU Tata Ruang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat, sedangkan UU Cipta Kerja berorientasi pada kemudahan investasi. Perbedaan orientasi ini menjadi tantangan dalam implementasi regulasi di lapangan. Terobosan yang sedang dilakukan saat ini mencakup integrasi tata ruang darat, laut, udara, dan model perencanaan spasial yang menyeluruh.
Hasil dialog ini akan dirumuskan lebih lanjut sebagai materi yang akan disampaikan dalam rapat bersama MPR, DPR, dan kementerian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/Bappenas, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 26 Februari 2025.
Dengan adanya dialog ini, diharapkan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya dapat semakin diperkuat. Hasil diskusi akan menjadi landasan penting dalam menyusun kebijakan tata ruang yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi daerah. Komitmen bersama dalam menindaklanjuti hasil dialog ini diharapkan mampu memberikan solusi nyata bagi tantangan tata ruang di masa mendatang. (ron/*)