Surnaini, S.Pd.I
( Guru di salah satu SD Negeri di Kabupaten Sumbawa-NTB)
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi menjadi sistem domisili pada Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025, dengan fokus pada jarak tempat tinggal murid ke sekolah, bukan lagi berdasarkan wilayah yang tertera di Kartu Keluarga (KK).
Namun sebaiknya, pemerintah perlu terlebih dulu melihat akar permasalahan PPDB selama ini.Karena persoalan pokok dari PPDB zonasi selama tujuh tahun ini adalah tidak meratanya keberadaan sekolah negeri di berbagai wilayah. Sepanjang pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak menyelesaikan persoalan pokok dari sistem PPDBzonasi khususnya, maka persoalan PPDB akan tetap terjadi meski berganti nama menjadi SPMB.
Bahkan banyak kekawatiran, praktek sistem domisili SPMB akan semakin rumit bila tidak dievaluasi secara mendalam sistem zonasi PPDB terlebih dahulu. Lebih dari sekadar soal masuk sekolah favorit, sistem ini juga berpotensi memperdalam ketidakadilan dalam akses pendidikan. Seleksi berbasis prestasi tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial-ekonomi.
Anak-anak dari keluarga mampu memiliki ekosistem belajar yang lebih mendukung; les tambahan, perangkat belajar yang memadai, serta dukungan orang tua yang lebih sadar akan pentingnya persiapan akademik sejak dini. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali harus berbagi waktu antara belajar dan membantu ekonomi keluarga. Jika persaingan didasarkan pada prestasi tanpa mempertimbangkan akses yang tidak setara, maka hasilnya bukan meritokrasi murni, melainkan reproduksi ketimpangan sosial.
Jika kesenjangan ini terus berlanjut, Indonesia bukan hanya akan kehilangan semangat pemerataan pendidikan, tetapi juga menciptakan generasi yang semakin terbelah: mereka yang mendapat pendidikan terbaik, dan mereka yang tertinggal dalam sistem.
SPMB tidak boleh menjadi alat yang semakin memperlebar kesenjangan. Jika kuota jalur prestasi diperbesar tanpa batasan, siswa yang tidak memiliki akses ke bimbingan belajar akan semakin sulit mendapatkan sekolah yang layak.
Jika pemerintah tidak menjaga keseimbangan ini, sekolah favorit hanya akan menjadi milik mereka yang memiliki modal lebih, sementara yang lain menerima kualitas seadanya. Namun, mempertahankan zonasi saja tidak cukup. Afirmasi bagi siswa dari keluarga kurang mampu harus diperjelas dan diperkuat.
Namun, solusi yang paling mendasar adalah pemerataan kualitas sekolah, bukan sekadar memperluas seleksi prestasi. Jika semua sekolah memiliki standar pengajaran, fasilitas, dan tenaga pengajar yang setara, maka istilah “sekolah unggulan” dan “sekolah buangan” tidak lagi relevan.
Jika sistem seleksi diperluas tanpa mempertimbangkan dampaknya secara luas, maka sekolah-sekolah unggulan akan semakin eksklusif, sementara sekolah-sekolah lain kehilangan daya saingnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk menyetarakan kesempatan justru bisa berubah menjadi alat stratifikasi sosial yang semakin mengokohkan ketimpangan.
Sekali lagi istilah SPMB yang diresmikan pemerintah melalui Kemendikdasmen ini diharapkan bukan sekadar nama baru, melainkan bentuk pemberian kepastian pendidikan bermutu yang tuntas, berkualitas serta merata di seluruh Indonesia.
Ini benar-benar diharapkan menjadi langkah progresif dalam memperbaiki sistem pendidikan di negeri ini. Perubahan ini diharapkan mampu mengatasi berbagai tantangan yang selama ini dihadapi dalam PPDB, terutama dalam aspek pemerataan akses pendidikan dan transparansi proses seleksi.
Dengan sistem yang lebih terstruktur, SPMB kita harapkan menciptakan kesempatan yang lebih adil bagi setiap calon peserta didik, sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang merugikan murid. Selain itu, kita berharap SPMB menjadi strategi pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memastikan bahwa setiap murid diterima berdasarkan kriteria yang objektif dan berkeadilan.
Selain itu, implementasi SPMB idealnya juga fokus pada peningkatan kualitas sekolah, baik negeri maupun swasta. Hal ini penting untuk menghilangkan stigma sekolah favorit dan memastikan semua siswa mendapatkan pendidikan yang setara.
SPMB juga idealnya diiringi peningkatan infrastruktur sekolah negeri, mengingat salah satu kelemahan sistem zonasi sebelumnya adalah keterbatasan jumlah sekolah negeri terutama di daerah padat penduduk. Pemerintah perlu membangun sekolah negeri baru di wilayah yang jumlah calon murid barunya besar sekaligus meningkatkan kapasitas sekolah yang ada agar murid tidak terkendala daya tampung.
Sebagai solusi untuk mengakomodasi murid yang tidak tertampung di sekolah negeri, pemerintah dapat memberikan insentif berupa subsidi dana pendidikan atau fasilitas tambahan, sehingga sekolah swasta lebih siap menampung murid yang tidak diterima di sekolah negeri.
Selain itu, jalur prestasi memberikan kesempatan bagi murid yang memiliki keunggulan akademik maupun non-akademik untuk mendapatkan sekolah yang sesuai dengan bakat dan potensinya. Hal ini tidak hanya mendorong budaya kompetitif yang sehat, tetapi juga memotivasi siswa untuk terus mengembangkan kemampuan mereka di berbagai bidang.
Jalur mutasi juga perlu dipertahankan untuk mengakomodasi siswa yang orang tuanya mengalami perpindahan tempat kerja atau domisili. Dengan adanya jalur ini, siswa yang harus berpindah sekolah dapat tetap melanjutkan pendidikan tanpa hambatan administratif.
Keberagaman jalur pendaftaran dalam SPMB mencerminkan komitmen terhadap inklusivitas dan pemerataan akses pendidikan. Dengan SPMB yang lebih fleksibel dan terstruktur, diharapkan setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kondisi dan potensinya.(*)