Mataram (Suara NTB) – Kepolisian Resor Kota Mataram menahan tiga orang berinisial DR (19), FD (24), dan DI (20) sebagai tersangka kasus dugaan aborsi di Mataram
“Awalnya kami menerima laporan dari RS Kota Mataram, salah satu perawat di sana memberitahukan kalau ada dugaan aborsi,” tutur Kepala Sub Unit Perempuan dan Anak (PPA) II Idik IV Polresta Mataram, Iptu Putu Yulianingsih, Senin, 17 Maret 2025.
Yulianingsih membeberkan, DR dan FD dalam kasus ini merupakan sepasang kekasih yang diduga mencoba melakukan aborsi. Sedangkan DI merupakan orang tempat FD membeli obat untuk aborsi tersebut.
“DR dan FD menjalin hubungan selama dua tahun,” ucapnya.
Sekitar bulan Oktober 2024, DR baru menyadari bahwa dirinya hamil. DR dan FD sempat berdiskusi terkait janin tersebut, apakah akan dihilangkan atau dipertahankan. Pada Januari 2025, keduanya sepakat menggugurkan janin tersebut.
“Motifnya menggugurkan karena DR masih berkuliah di Mataram dan FD masih bekerja serabutan, keduanya belum siap menikah,” bebernya.
DR menggugurkan janinnya dengan cara FD membeli dua butir obat seharga Rp530 ribu pada DI.
“Obat itu diberikan dengan cara diminum dan dimasukkan ke dalam alat kelamin nya,” terangnya.
Tidak berefek, pada 12 Maret 2025, DF kembali membeli obat tersebut dari DI seharga Rp800 ribu.
Keesokan harinya, DR mulai merasakan efek obat tersebut. Ia mengalami sakit perut yang luar biasa hingga akhirnya melahirkan bayinya secara prematur. Diketahui usia janin DR pada saat itu berumur 6 bulan.
“Setelah itu DR dibawa ke puskesmas Ampenan. Saat itu bayinya masih hidup, dirujuklah ke RS Kota Mataram. Di sana bayi dinyatakan meninggal,” pungkasnya.
Dari hasil penyelidikan sementara, diketahui DI mendapatkan obat yang dijualnya kepada FD berasal dari teman kakaknya yang bekerja di bidang kesehatan.
Teman dari kakak DI tersebut akan segera dipanggil pihak kepolisian dikarenakan DI mengaku telah tiga kali membeli obat untuk aborsi dari orang tersebut.
Atas perbuatannya, ketiganya dikenai Pasal 77 A Ayat (1) Jo. Pasal 45 A Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ketiganya terancam hukuman 10 tahun penjara. (mit)