Pengelolaan sumber daya kelautan usaha tambak udang mendapat perhatian serius jajaran Pemprov NTB dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK melihat banyak perusahaan tambak udang tidak berizin dan pengawasan tidak optimal oleh pemerintah daerah. Tidak optimalnya pengawasan oleh daerah, karena minimnya kontribusi yang diterima daerah.
PADA tahun 2025 NTB ditargetkan mampu memenuhi 197.000 ton potensi udang dari target nasional sebanyak 2 juta ton. Besarnya target yang dimiliki NTB ini ternyata tidak mampu memberikan kontribusi besar bagi daerah. Sebagian besar pendapatan dari tambak udang ini disetor ke pemerintah pusat. Sementara di satu sisi, daerah yang menerima dampak, seperti jalan rusak, lingkungan rusak dan persoalan kemasyarakatan yang lain.
Hal ini yang membuat pemerintah daerah di NTB yang memiliki tambak udang hanya bisa menahan nafas. Pemerintah daerah seperti disampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskanlut) Provinsi NTB Muslim, ST., M.Si., tegas-tegas menyampaikan protes ketika KPK menggelar Rapat Koordinasi Tata Kelola Tambak Udang di NTB beberapa waktu lalu.
Tidak adanya kontribusi perusahaan tambak udang ke pemerintah daerah ini, ungkapnya, membuat pihaknya tidak mampu berbuat apa-apa. Termasuk ketika melakukan pengawasan operasional perusahaan tambak udang di lapangan. ‘’KPK bilang kurang pengawasan daerah. Saya bilang mengawasi pakai apa? Pakai air saya bilang,’’ ujarnya.
Menurutnya, pemerintah daerah harus diberikan ruang dalam mendapatkan nilai tambah. Setelah ada nilai tambah yang didapat, barulah pemerintah daerah bergerak melakukan pengawasan ke lapangan. Pemerintah daerah bukannya tidak mau bergerak turun lapangan, namun ketika turun tidak mendapatkan apa-apa.
‘’Misalkan contoh soal sertifikat keluarkan barang. Itu yang dapat kan dari Balai Pengelolaan Mutu Kementerian dan Kelautan. Kita tidak dapat apa-apa. Karena UU Nomor 1 2022 sudah menghapus retribusi perizinan berusaha dan retribusi perizinan tertentu bagi kelautan, termasuk kehutanan,’’ ungkapnya.
Pihaknya meminta masalah retribusi perizinan dan perizinan tertentu dikembalikan lagi ke daerah sebagaimana UU Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Namun, semenjak berlakunya UU Nomor 1 2022, kewenangan pemerintah daerah menarik retribusi dihapus.
Meski demikian, pihaknya memberikan apresiasi atas kedatangan KPK yang memfasilitasi optimalisasi pengelolaan tata Kelola tambak udang di NTB. Kedatangan KPK ini untuk keberlanjutan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan. ‘’Beliau (KPK, red) belajar dari Lampung, Pulau Jawa. Itu kan mereka terbesar pengelolaan tambak udangnya. Tapi kan rusak, karena tata Kelola lingkungan yang tidak bagus. Nah sekarang masuknya KPK ini adalah sebuah investasi bagi daerah,’’ terangnya.
Muslim menegaskan, adanya keberadaan Perusahaan tambak udang di NTB ini diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi daerah dalam mendapatkan bagiannya. Jika pemerintah daerah mendapat bagian, pembangunan infrastruktur dan dampak ekonomi di masyarakat, khususnya yang menjadi lokasi tambak udang akan semakin bagus ke depannya.
“Kami ingin sumber daya ini tetap lestari untuk anak cucu kita. Namun, daerah juga butuh dukungan fiskal agar bisa melakukan pengawasan yang optimal,” katanya.
Ia menyebutkan produksi tambak udang di NTB pada tahun 2023 mencapai 197.000 ton (197.000.000 Kg). Jika dikalikan dengan harga rata-rata Rp50 ribu per kilogram, maka nilai produksi mencapai lebih dari Rp9,8 triliunan.
“Kalau saja daerah diberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 2,5 persen dari total produksi, itu setara dengan Rp246,2 miliar. Dana ini bisa dibagi antara kabupaten dan provinsi untuk pembinaan dan pengawasan tambak udang sesuai kewenangan masing-masing,” jelas Muslim.
Namun, dengan kondisi regulasi saat ini, daerah tidak memiliki ruang untuk menarik retribusi dari tambak udang. Hal ini membuat upaya inovasi dalam pengawasan dan pembinaan menjadi sangat terbatas.
“Kondisi fiskal daerah semakin sulit. Pada prinsipnya, kita tetap taat pada negara. Tapi kami hanya ingin menyuarakan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam agar daerah bisa memperoleh manfaat yang layak, sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan,” tutupnya.
Sementara Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria menegaskan komitmen pihaknya untuk terus menindaklanjuti persoalan perizinan tambak udang di NTB. KPK menemukan pada awal tahun 2025 hanya 10% dari total tambak udang di NTB yang memiliki izin lengkap.
Hal ini, ujarnya, mencerminkan masih rendahnya tingkat kepatuhan terhadap regulasi. Untuk mengatasi hal ini, KPK memberikan rekomendasi perbaikan guna memastikan aktivitas tambak udang berjalan sesuai aturan sekaligus berkontribusi optimal terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
“Kami ingin memastikan bahwa usaha tambak udang berjalan sesuai aturan tanpa mengorbankan lingkungan. Regulasi harus ditegakkan, bukan hanya untuk keberlanjutan usaha, tetapi juga demi menjaga ekosistem dan mencegah kebocoran perizinan yang dapat membuka celah praktik korupsi,” tegasnya saat dikonfirmasi usai menggelar Rapat Koordinasi dengan Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD-HNSI) di Mataram, Jumat 28 Februari 2025 lalu.
Menurutnya, berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB, terdapat 1.071 tambak udang yang aktif beroperasi. Namun, sebanyak 881 tambak udang tercatat ilegal. Seluruh tambak ilegal ini berada di Kabupaten Sumbawa, dengan 95% di antaranya merupakan tambak tradisional.
Sebagai langkah konkret, ujarnya, KPK telah menyusun rekomendasi perbaikan yang disepakati bersama, di antaranya. Batas waktu 6 bulan. Dalam hal ini, pengusaha wajib melengkapi izin, memperbaiki instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), mengurus sertifikat laik operasi (SLO), dan mengurus izin penggunaan Air Laut Selain Energi (ALSE).
Selain itu, pembentukan Satgas Lintas Sektor yang melibatkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), DPMPTSP, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta instansi terkait guna memperketat pengawasan. Hal lain yang dilakukan adalah pembangunan IPAL Komunal khusus bagi tambak tradisional agar lebih ramah lingkungan. Rekomendasi berikutnya, adalah penertiban jarak tambak, minimal 100 meter dari bibir pantai untuk menjaga ekosistem pesisir.
Dalam hal ini, jika dalam kurun waktu tersebut perbaikan tidak dilakukan, maka tambak udang tidak akan diizinkan beroperasi. ‘’Langkah ini diambil untuk memastikan kelangsungan usaha yang tetap ramah lingkungan,” tegasnya.
Sebagai bentuk pengawasan lebih lanjut, KPK juga melakukan pendampingan langsung kepada pemerintah daerah dengan meninjau kondisi tambak udang pada 24–26 Februari 2025. Dari hasil tinjauan tersebut, terangnya, ditemukan sejumlah permasalahan utama, antara lain lebih dari 90% tambak udang belum memiliki IPAL yang memadai, sistem pengelolaan limbah hanya sebatas pengendapan, serta masih banyak pembuangan limbah langsung ke laut.
Dari temuan itu, banyak pelaku usaha tambak udang selama ini mengabaikan aspek perizinan, terutama di wilayah laut yang mewajibkan analisis mengenai dampak lingkungan. Padahal, regulasi tersebut krusial untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan laut. Dari temuan KPK, 99% tambak udang di NTB masih memiliki permasalahan serius dalam pengelolaan limbah, yang berpotensi mencemari lingkungan dan mengancam keberlanjutan usaha perikanan. (bul/ham)