Jakarta (Suara NTB) – Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menilai, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tercatat Rp21 triliun atau 0,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Mei 2025 masih sangat terkendali.
Angka tersebut masih jauh di bawah batas maksimum defisit tahunan yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp616 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Defisit saat ini masih dalam batas aman terutama karena ditopang oleh strategi front-loading penerbitan surat berharga negara (SBN).
“Defisit sebesar Rp21 triliun atau 0,09 persen PDB masih jauh di bawah target tahunan, dan menunjukkan pengelolaan fiskal yang pruden di tengah tekanan ekonomi global,” kata Andry atau yang akrab disapa Asmo kepada ANTARA di Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Dari sisi pendapatan, negara mengantongi Rp995,3 triliun atau 33,1 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp3.005,1 triliun. Realisasi ini mengalami kontraksi 11,4 persen secara tahunan (yoy), lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 49,1 persen.
Penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp806,2 triliun atau turun 7,3 persen yoy.
Penerimaan pajak turun 10,1 persen menjadi Rp683,3 triliun, sementara bea dan cukai justru naik 12,6 persen menjadi Rp122,9 triliun. Kemudian, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp188,7 triliun atau 36,7 persen dari target.
Asmo menilai lemahnya kinerja penerimaan pajak disebabkan oleh melemahnya permintaan domestik dan penurunan penerimaan dari sektor migas.
“Kinerja penerimaan negara memang menjadi tantangan, terutama saat indikator makroekonomi belum sepenuhnya pulih, dan lifting migas masih di bawah target,” ujarnya.
Sementara itu, belanja negara telah mencapai Rp1.016,3 triliun atau 28,1 persen dari target APBN Rp3.621,3 triliun. Belanja pemerintah pusat tercatat sebesar Rp694,2 triliun, terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp325,7 triliun dan non-K/L Rp368,5 triliun. Transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp322 triliun atau 35 persen dari target.
Realisasi belanja tersebut tercatat sebagai yang terendah dalam satu dekade terakhir untuk periode yang sama, bahkan lebih rendah dari realisasi 29,6 persen pada 2015.
“Realisasi belanja hingga Mei 2025 tercatat sebagai yang terendah dalam 10 tahun terakhir, bahkan lebih rendah dari realisasi 29,6 persen pada tahun 2015 yang saat itu terdampak penyesuaian struktural anggaran di awal masa pemerintahan baru,” terangnya.
Namun demikian, keseimbangan primer tetap mencatatkan surplus sebesar Rp192,1 triliun, naik dari surplus April sebesar Rp173,9 triliun.
Asmo memandang hal ini mencerminkan pengeluaran negara yang masih terkendali dan tidak sepenuhnya mengandalkan utang untuk membiayai anggaran.
“Keseimbangan primer mencatat surplus sebesar Rp192,1 triliun, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya dan mencerminkan bahwa belanja pemerintah masih relatif konservatif pada awal tahun 2025,” jelas Asmo.
Dari sisi pembiayaan, pemerintah telah menerbitkan SBN senilai Rp324,8 triliun, atau 52,7 persen dari target tahunan.
Strategi penerbitan yang dilakukan lebih awal ini bertujuan mengantisipasi ketidakpastian pasar keuangan global, termasuk potensi perubahan kebijakan perdagangan Amerika Serikat.
Asmo menyimpulkan bahwa meskipun tekanan terhadap pendapatan negara masih tinggi, kebijakan fiskal pemerintah menunjukkan disiplin yang kuat dan kesiapsiagaan terhadap dinamika global.
Adapun dalam konferensi pers APBN KiTa, Selasa, 17 Juni 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyampaikan bahwa pemerintah akan terus memantau kondisi fiskal yang dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk ketegangan geopolitik dan volatilitas harga komoditas.
Ia juga menekankan bahwa fungsi countercyclical APBN akan tetap dijaga agar mampu merespons perubahan kondisi ekonomi.
“Defisit APBN bertujuan untuk melakukan countercyclical, sehingga ekonomi yang cenderung mengalami tekanan dan pelemahan itu bisa berbalik siklusnya dengan APBN, agar pelemahannya tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi, terutama pada masyarakat,” ujar Sri Mulyani.
Buka Blokir Anggaran
Pemerintah telah membuka anggaran yang dicadangkan atau blokir anggaran dari 99 kementerian/lembaga (K/L) seiring berakhirnya pelaksanaan efisiensi anggaran sesuai Instruksi Presiden (Inpres) 1 Tahun 2025, dengan nilai realisasi saat ini mencapai Rp129 triliun.
“Kami sudah membuka blokir. Kalau angkanya sebesar Rp129 triliun sampai saat ini,” kata Direktur Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan Luky Alfirman dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Juni 2025 di Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025.
Menurut dia, penyaluran anggaran yang dicadangkan itu diprioritaskan untuk kementerian/lembaga (K/L) yang baru terbentuk pada kabinet kali ini. Anggaran utamanya difokuskan untuk belanja pegawai dan operasional.
Di samping itu, anggaran juga disalurkan untuk pelaksanaan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti pendidikan, pertanian, hingga infrastruktur. “Kami mendukung sesuai dengan arahan Presiden Prabowo,” ujar Luky.
Seperti diketahui, pelaksanaan program efisiensi pemerintah sesuai Instruksi Presiden (Inpres) 1 Tahun 2025 telah diselesaikan pada 7 Maret 2025. Inpres mengarahkan agar anggaran K/L diefisiensikan sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp50,59 triliun.
Selanjutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta izin Presiden untuk memfokuskan kembali, merelokasi, membuka blokir anggaran, dan berbagai langkah lainnya agar belanja K/L bisa lebih tajam sesuai dengan prioritas pemerintah.
Seiring dengan pembukaan blokir anggaran, belanja K/L mulai terakselerasi. Per 31 Mei 2025, penyaluran belanja negara terakselerasi pada Mei 2025, dengan realisasi Rp1.016,3 triliun atau 28,1 persen dari target Rp3.621,3 triliun.
Meski nilai realisasi masih jauh dari target, mempertimbangkan paruh pertama tahun hampir berlalu, namun nilai itu meningkat sekitar Rp200 triliun dari realisasi April sebesar Rp806, 2 triliun.
Belanja pemerintah pusat (BPP) tersalurkan sebesar Rp694,2 triliun (25,7 persen dari target), yang disalurkan melalui belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp325,7 triliun dan belanja non-K/L Rp368,5 triliun. (ant)