Mataram (Suara NTB) – Fraksi Gabungan Persatuan Perjuangan Restorasi (PPR) memberikan catatan kritis terhadap nota keuangan dan Ranperda APBD tahun 2026. Catatan tersebut disampaikan dalam rapat paripurna penyampaian pemandangan fraksi-fraksi dalam rapat paripurna DPRD NTB pada Selasa malam, 26 November 2025.
Pertama Fraksi Gabungan PPR menyoroti terkait dengan penurunan pendapatan daerah pada tahun anggaran 2026 ini. Penurunan pendapatan daerah yang cukup signifikan tersebut memperlihatkan adanya tekanan fiskal yang cukup berat. Penurunan juga terjadi akibat pendapatan transfer pemerintah pusat, terutama pemotongan pada DAU, DBH dan DAK.
Juru bicara Fraksi Gabungan PPR, Suhaimi saat membacakan pemandangan fraksinya menyampaikan bahwa kebijakan penurunan pendapatan tersebut berkonsekuensi nyata terhadap kemampuan daerah dalam membiayai urusan wajib, pelayanan dasar, dan program-program prioritas rakyat.
“Dengan kondisi ini, Fraksi PPR memandang bahwa kondisi ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah agar setrategi pendapatan dapat disusun lebih matang, realistis, dan inovatif tanpa membebani masyarakat,” ucap Suhaimi.
Begitu juga dengan komponen belanja daerah yang mengalami penurunan. Fraksi gabungan PPR meminta belanja daerah harus disusun dengan prinsip efesiensi yang berkeadilan, dan memastikan belanja publik tetap menjadi prioritas.
“Belanja layanan dasar masyarakat tidak dikorbankan. Jangan ada belanja yang bersifat pemborosan atau tidak produktif. Pengaturan belanja harus dilakukan dengan cermat, transparan, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat,” tegas Suhaimi.
Kaji Ulang TPP Pejabat
Fraksi gabungan PPR selanjutnya memberi catatan kritis terhadap sejumlah rencana kebijakan daerah. Salah satunya yakni terkait rencana kenaikan tambahan penghasilan pegawai (TPP) pejabat eselon daerah lingkup Pemprov NTB.
Suhaimi menyebutkan kebijakan tersebut perlu dikaji ulang. Pasalnya waktunya dinilai kurang tepat lantaran kondisi fiskal daerah sedang tidak baik-baik saja. “Kondisi fiskal daerah sedang mengalami tekanan,” ujarnya.
Disebutkan politisi PDIP itu bahwa besaran TPP bagi pejabat eselon di lingkungan Pemprov NTB tergolong besar. Mulai dari eselon I Sekda mendapatkan TPP hampir menyentuh angka Rp100 juta setiap bulannya. Pejabat Eselon II mendapatkan TPP berkisar puluhan juta. Begitu juga pejabat eselon III dan IV mendapatkan TPP tergolong cukup besar.
Dengan rencana untuk kembali menaikkan TPP pejabat eselon tersebut pada APBD 2026, hal itu dirasakan sangat miris karena bertentangan dengan kondisi ekonomi rakyat yang sedang mengalami tekanan. Sementara para pejabat justru sebaliknya mau menaikkan penghasilannya dari uang rakyat.
“Kami mengingatkan bahwa kebijakan remunerasi seperti ini harus ditempatkan pada konteks yang objektif masyarakat NTB. Di saat pejabat menerima TPP besar, rakyat NTB masih berhadapan dengan kemiskinan yang memperhatikan, serta beban hidup masyarakat yang makin berat karena pelambatan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Fraksi gabungan PPR mempertanyakan apakah kebijakan menaikkan TPP pejabat tersebut sudah mempertimbangkan rasa keadilan sosial dan urgensi kesejahteraan masyarakat NTB?
“Kami tidak menolak penghargaan bagi ASN yang berprestasi dan bekerja profesional, tapi kebijakan anggaran harus dijalankan dengan rasa kepekan sosial. Jangan sampai birokrasi terlihat menikmati kenyamanan sementara rakyat masih terus menunggu keberpihakan dari pemerintah,” tegasnya.
Kegamangan Penerapan SOTK
Selanjutnya Suhaimi menyoroti terkait dengan pemberlakuan SOTK baru mulai tahun 2026. Namun meskipun Perda SOTK sudah ditetapkan, sampai sekarang ini masih belum ada peraturan pelaksanaannya, yakni Pergub. Padahal kebijakan kebijakan meritokrasi melalui SOTK tersebut merupakan salah atau komitmen kuat dari Gubernur NTB.
“Perda SOTK sudah ditetapkan, tapi hingga hari ini Pergub sebagai landasan operasional pelaksanaan belum diterbitkan. Kondisi ini menimbulkan kegamangan pada birokrasi daerah,” ungkap Suhaimi.
Suhaimi juga menyebutkan terkait dengan sikap Pemprov NTB yang belum mengindahkan surat teguran dari kementerian dalam negeri yang meminta implementasi SOTK tidak dilakukan sebelum seluruh perbaikan diselesaikan. Mengabaikan teguran Mendagri tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berpotensi menimbulkan konsekuensi administratif dan politik di kemudian hari.
“Hingga hari ini fraksi juga menemukan banyak pejabat yang merangkap jabatan lebih dari satu. Kondisi ini bukan hanya menyalahi prinsip meritokrasi, tetapi juga menjadi indikasi bahwa analisis kebutuhan SDM belum diselesaikan secara komprehensif,” sebutnya.
Kaji Ulang Pengangkatan Tim Percepatan
Menjadi sorotan serius Fraksi gabungan PPR juga yakni terkait dengan honorarium tim percepatan pembangunan yang dibentuk Gubernur NTB. Di mana sempat disebut Pj Sekda NTB terkait honor yang diterima tim percepatan mencapai Rp2,9 miliar pertahun dengan jumlah anggota sebanyak 15 orang.
Pembentukan tim percepatan yang menyedot anggaran miliaran tersebut dinilai tidak selaras dengan semangat efisiensi. Dikatakan Suhaimi seharusnya Gubernur prioritaskan penguatan internal birokrasi yang lebih paham terkait persoalan masyarakat NTB.
“Justru dengan merekrut tim eksternal dan memberikan honorarium besar muncul potensi tumpang tindih fungsi. Duplikasi kewenangan, dan bahkan kegamangan dalam alur komando birokrasi,” sebut Suhaimi.
Karena itu Fraksi PPR meminta kebijakan pengangkatan tim percepatan agar dikaji ulang, baik dari sisi urgensi, efektifitas, maupun manfaatnya untuk publik. “Fraksi PPR meminta Gubernur untuk memberikan penjelasan terkait kebijakan ini,” tegas Suhaimi.
Perbaiki Komunikasi Politik dengan DPRD
Pada kesempatan itu Fraksi PPR juga menyinggung terkait dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif yang dalam koridor kemitraan, bukan subordinasi. Kedudukan sejajar eksekutif dan legislatif di daerah bukan hanya sebatas norma hukum, tapi juga penting landasan etika politik dalam menjaga stabilitas pemerintahan Daerah.
“Komunikasi antara Pemprov dengan DPRD harus ditempuh melalui mekanisme kelembagaan, bukan melalui pendekatan personal yang bersifat informal dan pragmatif. Pola komunikasi seperti itu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, membuka ruang tafsir politik yang keliru, dan bahkan memicu kegaduhan yang tidak perlu sebagaimana gejala yang sudah kita saksikan dalam beberapa waktu lalu,” sebut Suhaimi.
Fraksi PPR menegaskan bahwa pembangunan NTB bukan pekerjaan satu orang, bukan pekerjaan satu kelompok, tapi menjadi tugas kolektif yang menuntut kolaborasi, keterbukaan, dan kesetaraan peran. Pemerintah daerah, DPRD, masyarakat sipil, perguruan tinggi, pelaku usaha dan komunitas masyarakat lainnya bagian dari ekosistem pembangunan yang harus dirangkul dan diberdayakan.
“Karena itu fraksi meminta Gubernur agar hal ini menjadi perhatian serius, sekaligus memperbaiki pola komunikasi dan tata kelola hubungan eksekutif dan legislatif agar tetap berada dalam koridor resmi dan saling menghormati. Dengan demikian stabilitas pemerintahan dapat terjaga, kepercayaan publik menguat, dan pembangunan dapat berjalan dengan arah yang lebih solid,” serunya. (ndi)

