Mataram (Suara NTB) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram perlu memeriksa sejumlah saksi sebelum melakukan penahanan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana pokok pikiran (pokir) DPRD Lombok Barat (Lobar).
Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swardhyana, Rabu (26/11/2025) mengatakan, hingga kini, pihaknya belum memeriksa dua dari empat tersangka dalam kapasitasnya sebagai tersangka maupun melakukan penahanan.
“Nanti kita lihat seperti apa. Saksi-saksi yang lain dulu kita periksa untuk mendukung keterangan saksi lainnya,” jelasnya.
Made Pasek menepis pihaknya menunda-nunda untuk menahan dua tersangka kasus Pokir DPRD Lobar, berinisial DD dan MZ yang merupakan ASN Pemda Lombok Barat itu.
“Tidak ada penundaan, kami periksa saksi dulu,” tegasnya.
Untuk dua tersangka yang telah menjalani penahanan yakni AZ dan R lanjutnya, saat ini penyidik tengah melakukan pemeriksaan tambahan terhadap keduanya. “Saya minta waktu ya,” tandasnya.
Sebelumnya pada Jumat (14/11/2025), Kejari Mataram telah menetapkan empat tersangka dalam kasus Pokir DPRD Lobar dengan tahun anggaran 2024 itu. Mereka diantaranya, AZ merupakan anggota DPRD Lobar, DD dan MZ yang merupakan ASN Pemda Lombok Barat. Serta R dari pihak swasta. Jaksa kini hanya baru menahan AZ dan R Lapas Kelas IIA Lombok Barat.
Peran Para Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Pokir DPRD Lobar
Made Pasek sebelumnya menjelaskan, dalam perkara ini, AZ selaku anggota dewan diduga melakukan intervensi terhadap proses pengadaan barang untuk diserahkan kepada masyarakat. Padahal dia bukan merupakan bagian dari pejabat pengadaan maupun pejabat pembuat komitmen (PPK) ataupun kuasa pengguna anggaran (KPA).
Dia kemudian melakukan pembelanjaan sendiri terhadap kegiatan pemerintah daerah, sehingga mengaburkan peran penyedia barang/jasa dan melanggar asas pengadaan.
“Selanjutnya dia mengatur dan menunjuk sendiri penyedia (Tersangka R) untuk dijadikan pemenang,” sebutnya.
AZ juga memerintahkan pembuatan proposal fiktif dan mark-up jumlah penerima manfaat, yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Sementara itu, tersangka R bersedia ditunjuk secara langsung tanpa proses pengadaan yang sah sebagai pemenang tender. Sebagai penyedia, R tidak melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak dan membiarkan pihak lain (Tersangka AZ) melaksanakan pekerjaan sepenuhnya.
“R hanya bertindak sebagai penyedia fiktif dan tetap menerima keuntungan 5 persen, sehingga terjadi moral hazard dan perbuatan memperkaya diri sendiri tanpa dasar hukum,” tuturnya.
Di sisi lain, Tersangka DD dan MZ tidak melakukan survei harga dalam menyusun harga perkiraan seluruh (HPS). Penyusunan hanya berdasarkan ketersediaan anggaran dan Standar Satuan Harga (SSH) Kabupaten Lobar tahun 2023.
“Sehingga harga yang ditetapkan dalam kontrak oleh PPK/KPA jauh lebih mahal dari harga pasar, sehingga mengakibatkan terjadinya kemahalan harga,” terangnya.
DD dan MZ juga ikut dalam pengaturan pemenang bersama AZ dengan cara menunjuk langsung Tersangka R sebagai penyedia tertentu. Selanjutnya mereka tidak melakukan pengendalian kontrak dan pengawasan pelaksanaan kegiatan, sehingga pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak yang ada.
“DD dan MZ juga menyetujui pembayaran kepada penyedia yang tidak melaksanakan pekerjaan,” sebutnya.
Sebabkan Kerugian Negara
Atas perbuatan keempat tersangka, negara mengalami kerugian sebesar Rp1.775.932.500. Perhitungan tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) dari Inspektorat Kabupaten Lombok Barat.
Kepada empat tersangka kasus Pokir DPRD Lobar, jaksa menyangkakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (mit)

