Mataram (Suara NTB) – Insiden pembobolan pusat data nasional Indonesia telah menimbulkan kegelisahan besar di kalangan masyarakat dan pemerintahan. Dengan 210 instansi terdampak dan 47 domain layanan terganggu, termasuk program Kartu Indonesia Pintar (KIP), kejadian ini menyoroti kelemahan sistem keamanan siber di negara ini. Dua orang pakar dari Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) menyampaikan pandangan mereka terkait persoalan ini.
Ketua Program Studi Ilmu Komputer (Ilkom) Fakultas Teknik (FT) Unizar, Firmansyah, S.Kom., M.Kom., mengungkapkan dampak dari pembobolan ini sangat signifikan dan global, terutama bagi Indonesia. “Cyber security harus ditingkatkan, khususnya di Indonesia,” ujarnya.
Firmansyah menyoroti kelemahan di sektor ini, terutama terkait perangkat dan jaringan yang tidak ter-update serta kurangnya tenaga ahli yang memadai.
Sementara itu, Kepala IT Unizar, Yushi Assani, S.Kom., menyatakan keprihatinannya terhadap insiden yang terjadi di tempat yang seharusnya paling aman. “Kepercayaan publik terhadap pemerintah terkait keamanan data mereka menjadi menurun,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kebocoran data dapat dimanfaatkan untuk serangan cyber seperti phishing (upaya untuk mendapatkan informasi data seseorang dengan teknik pengelabuan, red) maupun social engineering.
Kedua pakar ini sepakat bahwa ada kelemahan mendasar dalam sistem keamanan siber di Indonesia. Firmansyah menekankan pentingnya peningkatan antusiasme dan kesiagaan dalam menghadapi ancaman ini. Ia menyarankan penggunaan teknologi yang lebih maju dan tenaga ahli yang mumpuni di bidang ini. “Indonesia harus bisa mendeteksi serangan sebelum terjadi,” tegasnya.
Yushi Assani menambahkan bahwa kelemahan utama terletak pada enkripsi yang lemah dan SOP pengamanan pusat data yang tidak dijalankan dengan disiplin. “Pencegahannya adalah dengan memperkuat metode enkripsi, mewajibkan sistem backup, dan memperkuat SOP serta disiplin dalam menjalankannya,” jelasnya.
Keduanya juga menekankan pentingnya respons cepat dari pemerintah. Firmansyah mengusulkan agar pemerintah lebih sering turun ke masyarakat untuk sosialisasi mengenai peretasan. “Pemerintah harus bekerja cepat dalam merespons kejadian ini dengan tidak saling menyalahkan antarlembaga,” tambah Yushi.
Pendidikan dan penelitian memiliki peran penting dalam mencegah insiden serupa di masa depan. Firmansyah menjelaskan bahwa Unizar telah membuka Program Studi Ilmu Komputer dengan konsentrasi pada cyber security. “Kami membuat virtual laboratorium, di mana mahasiswa bisa belajar tentang penyerangan tanpa mengganggu sistem yang ada,” ujarnya.
Yushi Assani menggarisbawahi pentingnya edukasi dan pemahaman tentang keamanan data pribadi. “Universitas harus menyelenggarakan seminar-seminar dengan tema keamanan siber,” sarannya.
Dalam hal inovasi, keduanya sepakat bahwa perkembangan teknologi keamanan siber di Indonesia sudah baik, namun implementasinya sering lambat. “Pemangkasan birokrasi terkait implementasi keamanan siber perlu dilakukan,” kata Yushi. Firmansyah menambahkan bahwa sosialisasi terkait kesadaran keamanan diri sendiri perlu ditingkatkan.
Insiden pembobolan pusat data nasional Indonesia menunjukkan kelemahan serius dalam sistem keamanan siber negara ini. Namun, dengan langkah-langkah yang tepat dan peningkatan pendidikan serta inovasi, Indonesia dapat memperkuat pertahanannya terhadap ancaman siber di masa depan.
“Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan keamanan data nasional,” pungkas Firmansyah. (ron)