Koordinator pedagang UMKM Pasar Seni Senggigi, Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat (Lobar) Supratman Samsi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap masalah yang mengancam di balik molornya pengerjaan proyek revitalisasi Pasar Seni Senggigi. Pasalnya jika persoalan proyek yang terlambat salah seorang pelaku UMKM yang ngotot tak mau dibongkar bangunan tersebut berperkara, maka otomatis akan berlanjut ke pengadilan.
Jika nantinya kasus ini berlanjut ke pengadilan, maka akan dilakukan penyegelan terhadap Pasar Seni Senggigi. Tentunya itu akan berimbas kepada para pedagang yang ada di pasar itu. “Ketika itu distop oleh pengadilan, maka tidak berlanjutlah pengerjaan proyek ini. Kemudian disegel, maka kami tidak bisa berusaha. Itu yang kami khawatirkan dari sisi pengguna tenant,” kata Supratman, akhir pekan kemarin.
Bahkan, baru beberapa hari pengerjaan pun disebutnya sudah mengganggu. Kedatangan tamu disebutnya mulai berkurang. Dengan itu diharapkannya semakin cepat pengerjaan proyek itu, maka akan semakin bagus untuk para pedagang yang ada di sana. Lebih lanjut, dijelaskannya bahwa target pengerjaan ini harus tuntas pada Desember tahun ini. Sedangkan sesuai dengan kontrak, pengerjaan revitaliasi pasar Senggigi ini dilakukan harusnya pada 17 Juli lalu. Namun tertunda pengerjaannya akibat adanya Hak Guna Bangunan (HGB) sampai pada 16 Agustus lalu.
“Itupun sebenarnya sudah bermasalah. Ditambah lagi adanya perpanjangan sampai 2044,” terangnya.
Ada 74 pedagang yang ada di Pasar Seni Senggigi. Dari 74 pedagang tersebut rata-rata sudah mengontrak di sana selama 20 sampai 30 tahun. Ada dua sistem yang digunakan di pasar seni, yang pertama HGB di atas HPL (Hak Pengelolaan) milik PT Rajawali. Kemudian kontrak semua di PT Rajawali. “Dimana Rajawali ini berkontrak dengan Pemda selama 30 tahun,” tambahnya.
Untuk HGB, semuanya sudah habis kontraknya per tanggal 16 Agustus tahun ini. Dengan itu, proyek tersebut bisa berjalan. Namun ternyata, ada pengusaha yang mengaku melakukan perpanjangan HGB dengan luasan masing-masing HGB 57 meter persegi. Ada 2 orang pengusaha, yang satu memiliki satu HGB. Satu lainnya dengan tiga HGB.“Inilah yang menjadi kendala pembangunan,” bebernya.
Ada beberapa solusi yang telah berupaya ditempuh. Opsi pertama, menggeser dua HGB yang terdampak proyek dipindah ke HGB yang tidak terdampak. Namun opsi tersebut ditolak. Kemudian opsi kedua, tetap di HGB dan diberikan kompensasi. “Itu juga ditolak. Kalau dari sisi hukumnya sudah mutlak pemda yang punya,” jelasnya. (her)