Mataram (Suara NTB) – Pemerintah Kota Mataram telah mengkonsultasikan luas lahan sawah dilindungi ke Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Lahan sawah dilindungi (LSD) yang diusulkan 339 hektar dari 580 hektar.
Pelaksana Kepala Dinas Pertanian Kota Mataram, H. Irwan Harimansyah mengatakan, Bidang Sarana Prasarana Pertanian bersama Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mataram, telah mengkonsultasikan luas lahan sawah dilindungi ke Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional. Luas LSD yang diusulkan 339 hektar dari 580 hektar yang ditetapkan sebelumnya. “Kita tidak tahu apakah disetujui atau tidak,” terang Irwan dikonfirmasi pada, Kamis 10 Oktober 2024.
Persoalan lahan pertanian menurut Irwan, sangat penting untuk dipertahankan. Organisasi perangkat daerah (OPD) teknis tidak ansih menyetujui permohonan izin dari pengembangan perumahan untuk berinvestasi. Jika pengusaha mengajukan satu hektar maka disetujui 50 are. Walaupun lahan itu adalah milik mereka pribadi. “Jadi harus selektif juga memberikan izin investasi,” terangnya.
Berkurangnya lahan pertanian akan pengaruh terhadap target produksi padi. Kementerian Pertanian RI menargetkan produksi padi setiap tahun 25.000 ton. Secara otomatis target akan menurun apabila lahan pertanian berkurang.
Kepala Dinas Perikanan Kota Mataram ini, menyadari bahwa persoalan sosial akan muncul jika sawah semakin menyempit. “Kita tahu bahwa petani di Kota Mataram sebagian besar penggarap,” katanya.
Keterbatasan lahan pertanian harus disiasati dengan pemanfaatan teknologi pertanian. Teknologi pertanian berupa hidrophonix, aquaphonix, dan lain sebagainya memanfaatkan lahan pekarangan. Konsep ini sebenarnya telah dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di satu sisi, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia juga meminta Pemkot Mataram mempertahankan lahan sawah dilindungi. Usulan yang disampaikan ke Kementerian ATR/BPN sebenarnya menjadi bagian untuk mempertahankan LSD.
Analis Tindak Pidana Korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Abdul Jalil Marzuki menjelaskan, semestinya kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus sejalan terkait penetapan lahan sawah dilindung, sehingga apa yang diputuskan di daerah tidak mengalami perubahan saat penetapan. Tetapi persoalannya adalah pengembang diberikan kewenangan untuk mengubah/merevisi izin yang berpotensi pada berkurangnya lahan pertanian di Kota Mataram.
Dalam konteks LSD semestinya, ada koordinasi yang lebih ketat antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menangani lahan sawan dilindungi. Jangan sampai kata dia, pemerintah daerah tidak mengetahui izin yang dikantongi pengembang perumahan.
Jalil juga meminta Pemkot Mataram melihat fakta di lapangan, karena dari hasil pemantauan melalui satelit bahwa tidak sama dengan kondisi sebenarnya. “Dari hasil pemantauan satelit terlihat hijau semua kawasan di Mataram, tetapi setelah dicek tidak sesuai faktanya,” pungkasnya.
Berkurangnya LSD akan berdampak terhadap debit mata air. Kondisi ini berbeda dengan Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Barat yang memiliki sumber air yang melimpah. Jalil enggan mengatakan bahwa Kota Mataram lemah dari aspek pengawasan lahan sawah dilindungi, melainkan perlu koordinasi yang kuat agar tidak kecolongan oleh investor yang memanfaatkan LSD untuk pembangunan perumahan. (cem)