Praya (Suara NTB) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan ada praktik yang salah dalam pengelolaan program pokok pikiran (pokir) di wilayah NTB. Tidak terkecuali di Kabupaten Lombok Tengah (Loteng). Di mana ada kesan kalau program pokir jadi ajang bagi-bagi jatah proyek di kalangan anggota DPRD setempat. Bahkan, banyak program pokir di antaranya berupa hibah dana tunai, bukan dalam bentuk barang modal.
Demikian diungkapkan Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK Dian Patria, usai memberikan materi pada sosialisasi anti korupsi dan gratifikasi kepada pejabat eselon II dan III lingkup Pemkab Loteng, di Swiss Belcourt Hotel, Praya, Senin, 11 November 2024.
Ia menegaskan, program pokir padasarnya bukan hak anggota Dewan. Dalam arti, tidak mesti anggota Dewan itu harus dapat program pokir. Tapi praktik yang terjadi justru ada kesan Dewan memaksa untuk dapat jatah program pokir.
Kendati program yang diusulkannya tidak sejalan dengan regulasi yang ada. Bahkan nilainya bisa mencapai Rp 1 hingga 2 miliar untuk masing-masing anggota Dewan di tingkat kabupaten/kota. ‘’Sementara di tingkat Dewan Provinsi bisa lebih besar lagi,’ ungkapnya.
Bayangkan kalau 50 anggota Dewan masing-masing dapat Rp 1 sampai 2 miliar maka nilainya bisa mencapai Rp 100 miliar. “Di Mataram begitu, di provinsi begitu, di Sumbawa begitu. Artinya ada praktik yang salah,” terangnya
Memang program pokir bersumber dari hasil serapan anggota Dewan di masing-masing daerah pemilihan (dapil). Tapi meski anggota Dewan harus dapat program pokir. Karena pengusulan program pokir itu tetap harus melalui mekanisme Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang diinput paling lambat seminggu sebelum kegiatan musrenbang.
Program yang diusukan pun harus sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Kalau kemudian usulan anggota Dewan tidak sesuai regulasi jangan maksa-maksa untuk diakomodir. Pemerintah daerah pun harus berani menolak kalau kemudian ada program yang diusulkan melalui Pokir yang tidak sesuai aturan.
Begitu pula sebaliknya dengan anggota Dewan jangan kemudian memaksakan diri harus mendapat program pokir. Harus tetap mengikuti mekanisme yang ada. Jangan kemudian ikut main-main dengan memaksa pemerintah daerah agar mengakomodir rekanan tertentu sebagai pelaksanaan program pokir. Maupun tindakan-tindakan lainnya yang bisa mengarah kepada pelanggaran aturan.
“Harus mau berubah berbenah. Kalau NTB mau maju. Utamanya dalam hal pengelolaan program Pokir agar tepat dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Kuncinya mau tidak pemerintah daerah dan para anggota Dewan di daerah ini,” sebutnya. (kir)