Mataram (Suara NTB) – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB bekerja sama dengan Direktorat Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial Ditjen PHI dan Jamsostek Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) RI melaksanakan kegiatan Evaluasi Penilaian Hubungan Industrial di Hotel Jayakarta Senggigi, Kamis, 28 November 2024.
Direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial yang diwakili oleh Koordinator Bidang Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial, Fritz Simon Saortua, S.E., M.M., dalam kesempatan ini memaparkan, data menunjukkan selama Januari – Oktober 2024 tercatat 211 kasus mogok kerja melibatkan 28.197 tenaga kerja dengan 225.576 jam kerja yang hilang. Selain itu, terdapat 5.653 kasus perselisihan hubungan industrial, di mana 67% didominasi oleh kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Dari 1.700 data perusahaan yang masuk, hanya 200 perusahaan yang masuk kategori hijau, sementara 70% masih berada di kategori merah,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H., memaparkan bahwa Provinsi NTB memiliki karakteristik unik dalam ketenagakerjaan dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah.
Pada periode Agustus 2023 hingga Agustus 2024, terjadi peningkatan sebesar 216.340 orang, sehingga total angkatan kerja mencapai 3,19 juta jiwa. Meskipun tingkat pengangguran menurun secara persentase dari 2,80% menjadi 2,73%, jumlah pengangguran meningkat menjadi 87.010 orang karena pertumbuhan angkatan kerja yang signifikan.
Sektor pertanian tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar dengan kontribusi 36%, diikuti sektor perdagangan, konstruksi, dan industri pengolahan. Sektor tambang, meskipun memberikan kontribusi besar terhadap PDRB, hanya menyerap sekitar 16% tenaga kerja. Dominasi sektor informal di NTB menimbulkan tantangan tersendiri dalam menciptakan pekerjaan yang lebih formal dan berkelanjutan.
Pada bagian lain, Disnakertrans NTB menurutnya terus melakukan pembinaan dan mendorong perusahaan agar menerapkan dan menyusun struktur dan skala upah (SuSU). Ia menekankan bahwa sistem pengupahan yang selama ini fokus pada Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sering kali tidak adil bagi pekerja berpengalaman yang memiliki kompetensi dan etos kerja tinggi.
Selain itu, terkait perlindungan sosial bagi pekerja formal dan informal, saat ini hanya 60% pekerja formal yang terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan, sementara pekerja informal baru mencapai 9,3%. Upaya terus dilakukan untuk memperluas cakupan perlindungan sosial, termasuk melalui pemanfaatan Dana Bagi Hasil (DBH). NTB menjadi percontohan nasional dalam pemanfaatan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk melindungi pekerja bukan penerima upah, seperti petani, nelayan, dan pedagang kecil.
Dalam aspek keselamatan kerja, disampaikan, dari 18.061 perusahaan terdaftar di NTB, jumlah perusahaan yang telah menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (SMK3) mencapai 1.300 perusahaan. Karena itu, ia mendorong kepatuhan perusahaan terhadap regulasi, termasuk melaporkan informasi lowongan kerja melalui sistem Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP) sebagaimana diatur dalam Perpres 57/2023.
“Kami juga mengimbau perusahaan untuk membangun komunikasi yang efektif dengan pekerja, mengutamakan langkah preventif dalam menyelesaikan perselisihan, serta memastikan kesejahteraan pekerja melalui upah yang layak dan skala pengupahan yang transparan,” imbaunya.
Harapannya, evaluasi ini menjadi momentum penting untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik di NTB.(bul)