Giri Menang (Suara NTB) – Kepala Desa Senggigi, Lombok Barat (Lobar) dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB oleh sejumlah warga terkait dugaan korupsi APBDes. Sebelum pelaporan oleh warga itu, pihak Inspektorat lebih dulu melakukan audit terhadap pengelolaan APBDes termasuk pengunaan Dana Desa (DD). Yang diaudit adalah laporan keuangan tahun anggaran 2022-2023.
“Proses audit melibatkan satu tim dengan lima orang auditor. Kami target bulan ini selesai,” kata Inspektur Lobar Hademan, dikonfirmasi terkait prosesnya audit APBDes Senggigi belum lama ini.
Ia mengaku belum bisa menyimpulkan hasil pemeriksaan. Termasuk dugaan penyimpangan pengunaan dana ratusan juga seperti yang dikemukakan warga yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Senggigi (FMPS).
“Sudah kita periksa. Belum ada hasilnya karena audit belum selesai,” kilah Hademan.
Disampaikan, APBDes Desa Senggigi termasuk kategori besar. Anggarannya bisa mencapai Rp 3 miliar per tahun. Dana bagi hasil (DBH) pajak yang diperoleh pihak desa bisa sampai Rp 1 miliar per tahun. “APBDes Senggigi termasuk paling banyak di Lobar. Ini karena potensi pajak hotel, restoran, tempat hiburan sebagai daerah wisata,” ujarnya.
 Terkait laporan warga ke Kejati NTB, Hademan tidak mempersoalkan. Hal itu tidak menghalangi pemeriksaan yang masih dilakukan Inspektorat sampai sekarang.”Kita tahu ini dilaporkan ke Kejaksaan. Nggak apa-apa kami jalan terus,” sambungnya.
Seluruh temuan Inspektorat akan menjadi rekomendasi untuk diperbaiki oleh pihak desa. Termasuk temuan penyimpangan dana desa. Hasil audit itu menjadi informasi yang dikecualikan yang tidak disebar ke publik. Hanya disampaikan untuk objek terperiksa untuk dipulihkan kembali.
Jika dalam pemeriksaan ditemukan unsur kerugian negara, maka pihak desa diwajibkan untuk membayar sesuai nominal yang dipakai. Uang harus dikembalikan ke rekening kas desa selama jangka waktu 60 hari sejak audit keluar. Itu disertai bukti transfer ke rekening kas desa. Nah, dana itu akan dipakai lagi untuk kepentingan pembangunan desa. “Karena itu uangnya desa harus dikembalikan. Ini bentuk pembinaan Inspektorat ke pemerintah desa. Hal yang sama berlaku untuk OPD atau lembaga lain di bawah Pemkab Lobar,” papar Hademan.
Menurutnya, itulah bedanya penanganan kasus oleh Inspektorat dan aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan. APH bisa mengenakan unsur pidana jika ditemukan kerugian negara. “Kalau Inspektorat apapun temuannya akan dipulihkan. Mau administratif atau kerugian pasti Inspektorat minta dipulihkan dulu,” sambungnya.
Pada bagian lain, Inspektur Pembantu (Irban) Busyairi mengatakan proses audit tidak gampang. Semua bukti dokumen harus diteliti dengan cermat. Ia juga mengeluhkan jumlah personel yang sangat terbatas. Saat ini pihaknya akan memiliki 30 pegawai, tapi idealnya mencapai 80 auditor.
Padahal Inspektorat mengawal seluruh pemeriksaan, mulai dari OPD, BUMD, desa, dan kecamatan se-Kabupaten Lobar. Satu OPD saja terdiri dari banyak kegiatan, baik audit operasional, kinerja, dan review kegiatan. “Sarpras (sarana prasarana, red) juga di sini parah sekali. Bagaimana mau turun periksa mobil operasional rusak. Tentu selain SDM juga terbatas,” ujarnya.
Sementara itu, Kades Senggigi Mastur mendatangi kantor Inspektorat Pemkab Lobar. Saat ditanya media terkait keperluannya, dia tidak banyak berkomentar. Ia mengatakan pada saatnya akan menyampaikan keterangan secara resmi.
Dia pun langsung masuk ke ruang Saber Pungli Inspektorat Lobar. Di dalam ruangan sudah menunggu dua auditor fungsional Inspektorat. “Yang paling penting saya tidak pernah sepeser pun makan DD. Ingat itu,” kata Mastur.
Sementara itu, warga Desa Senggigi yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Senggigi (FMPS) melaporkan Kasus dugaan penyelewengan dana desa ke APH dalam hal ini Kejaksaan. Sekretaris FMPS Ahmad Hudairi menyampaikan, dugaan penyelewengan keuangan desa diduga dilakukan sejak 2022-2024.
Dugaannya, adanya indikasi program tidak pernah terlaksana tapi tetap harus dibuatkan laporan penggunaan dana. Program dana ketahanan pangan, contohnya. Penggunaan dana ini salah satunya untuk pembelian alat cetak batako. Tapi realita di lapangan sama sekali tidak ada pengadaan alat itu. Justru yang dibeli adalah papan selancar surfing untuk tim sukses kades. Hal itu jelas menyalahi aturan. (her)