Mataram (Suara NTB) – Walikota Mataram, Dr. H. Mohan Roliskana menargetkan kasus stunting di Mataram turun mencapai 5 persen pada akhir tahun 2024. Penanganan secara komprehensif serta pelibatan seluruh organisasi perangkat daerah dan mitra pemerintah untuk menekan permasalahan tersebut. “Di posisi Juli angka stunting kita 7,9 persen. Saya menargetkan di akhir tahun 2024 bisa mencapai 5 persen,” tegas Walikota pada Selasa, 23 Juli 2024.
Dirincikan angka stunting di Kota Mataram pada tahun 2022 mencapai 17 persen. Jumlah ini mengalami penurunan menjadi 13 persen di tahun 2023. Dan, posisi bulan Juli 2024 menjadi 7,9 persen. Menurutnya, validasi data serta kerja kolektif dengan seluruh stakeholder dan kreativitas menciptakan inovasi untuk mencegah stunting dinilai sangat produktif.
Penurunan signifikan kasus stunting di Kota Mataram memiliki kontribusi terhadap penurunan kasus di tingkat Provinsi NTB. “Beberapa OPD terkait seperti DPPKB dan dukungan program jas kuning dari Dikes dan berbagai inovasi akan membantu,” jelasnya.
Ia berharap urusan nasional ini harus dikerjakan bersama-sama. Artinya, tidak bisa secara mandiri di serahkan ke kabupaten/kota melainkan perlu pelibatan lintas sektor, organisasi perangkat daerah, dunia usaha, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah melahirkan generasi yang lebih baik.
Walikota berpesan ibu-ibu muda memanfaatkan waktunya untuk datang ke posyandu memeriksakan kehamilan dan kondisi kesehatan balita mereka. Kader posyandu juga diminta aktif mendampingi ibu hamil dan ibu yang memiliki balita, agar memperhatikan pola makan yang sehat dan bergizi. “Saya berharap kader lebih dini mendeteksi ibu-ibu hamil di lingkungan dan membantu mengedukasi,” harapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram, dr. H. Emirald Isfihan menjelaskan, kasus stunting di Ibukota Provinsi NTB ini turun menjadi 7,91 persen dengan angka absolut 1.900 lebih balita. Kasus stunting sangat fluktuatif karena rumusan itu tergantung dari sasaran yang datang melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan di posyandu. Artinya, semakin banyak bayi stunting datang ke posyandu tetapi anak balita sehatnya banyak tidak datang maka berpengaruh pada prevalensi kasus stunting, sehingga kedatangan sasaran baik anak sehat maupun anak stunting minimal 95 persen terlayani di posyandu.
Angka stunting 7,91 persen ini adalah angka di bawah target nasional yang akan dipertahankan agar tidak ada kasus baru dengan melibatkan stakeholder. “Di tahun 2023-2024, penanganan anak stunting harus tertangani dengan baik.
Kedua lanjutnya, pihaknya melakukan upaya jangan sampai terjadi kasus stunting baru. Mitigasinya adalah, melibatkan Dinas Pendidikan untuk mensosialisasikan ke sekolah-sekolah supaya mencegah perkawinan anak. Dipastikan calon pengantin menjalani pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi secara lengkap melalui pemeriksaan pra nikah sebagai upaya mencegah stunting.
Berikutnya, ibu hamil dibuka kelas hamil di seluruh puskesmas dengan memberikan minuman susu yang benar, olahraga, serta memeriksa kesehatan janin secara rutin.
Dijelaskan, bayi stunting dibedakan menjadi dua yakni, bayi stunting sehat dan sakit. Balita stunting sakit harus didampingi penanganan kesehatannya untuk dirujuk ke rumah sakit, karena rumah sakit memiliki poli stunting dan poli tumbuh kembang. Pasalnya, bayi sakit tidak bisa diintervensi dari sisi makanan.
Emirald menegaskan, faktor stunting muncul dimulai dari pernikahan (jangan ada pernikahan dini) supaya ada kesiapan fisik dan mental. Sebelum pernikahan dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk mempersiapkan pasutri memiliki tanggungjawab proses kehamilan dari pasangannya. “Saat persalinan juga memiliki aturan baru, tidak boleh di poskesdes, yang boleh di puskesmas supaya tidak terjadi faktor resiko maka dirujuk ke rumah sakit apabila terjadi kelainan supaya dirujuk ke rumah sakit,” ulasnya seraya menambahkan anak stunting beresiko pada perkembangan otak terutama kecerdasan anak. Oleh karena itu, ia mendorong kerja sama dengan seluruh pihak sangat penting untuk mencegah stunting baru di Kota Mataram. (cem)