Mataram (Suara NTB) – Pada tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis persentase kemiskinan ekstrem di Provinsi NTB mengalami penurunan 0,64% dari 3,29% menjadi 2,64%. Artinya, pada tahun 2024, sesuai dengan target nasional, diperlukan upaya bersama dalam menghapuskan angka kemiskinan ekstrem (menuju 0%) pada akhir tahun 2024.
Merujuk pada data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), jumlah keluarga yang masuk dalam desil 1 di Provinsi NTB sebanyak 202.716 keluarga dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Lombok Timur yaitu 59.077 keluarga atau 29,14% dari total jumlah keluarga desil 1 di Provinsi NTB.
Sementara, pada tahun 2022 berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) , Angka Prevalensi Stunting (APS) Provinsi NTB mencatat pencapaian yang belum optimal dengan angka32,7% atau naik jika dibanding tahun 2021 sebesar 31,4%.
Meskipun menurut data Pemerintah Provinsi NTB melalui e-PPGBM APS tahun 2023 telah mencapai 13,78% , terdapat gap yang cukup tinggi antara kedua data tersebut. Namun Pemerintah Pusat menggunakan acuan data SSGI atau Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 yang belum dirilis hasilnya. Hal ini menunjukkan perlunya komitmen dan kerja keras semua pihak.
Dalam rangka menghapuskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2024 dan menurunkan prevalensi stunting di Provinsi NTB di bawah 14% sesuai target nasional pada tahun 2024 Kamis 1 Februari 2024,Perwakilan BPKP NTB menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Pengawasan Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Wilayah Provinsi NTB dengan menghadirkan salah satu narasumber yaitu Kepala Bappeda Provinsi NTB, Dr. H. Iswandi dan dihadiri oleh seluruh Kepala Bappeda dan Inspektur se-Provinsi NTB, Sekretaris Perwakilan BKKBN Provinsi NTB, Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah Kemenag NTB, serta stakeholder lain yang terkait dengan penurunan prevalensi stunting dan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Kegiatan yang berlangsung di Aula Bumi Gora Kantor BPKP NTB dan dibuka Kepala Perwakilan BPKP NTB. Kepala Perwakilan BPKP NTB Sidi Purnomo, mengajak seluruh pihak terkait untuk bersatu padu dalam memerangi stunting dan kemiskinan ekstrem di Provinsi NTB. “ Mari kita tinggalkan sekat-sekat sektoral dan bekerja bersama menuju transformasi positif yang dapat memberikan dampak nyata bagi masyarakat kita,” tegasnya.
Sementara Kepala Bappeda Provinsi NTB H. Iswandi menjelaskan permasalahan penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem di Provinsi NTB. Selain itu, menegaskan pentingnya penguatan organisasi dan pelayanan langsung dari Posyandu diharapkan bisa membantu masyarakat untuk mencegah stunting.
Mantan Kepala Bappenda Provinsi NTB ini juga mengajak adanya penanganan stunting dari hulu yakni sejak menjadi calon pengantin. Menurutnya diperlukan intervensi sensitif salah satunya dari Kanwil Kemenag yakni melalui pensyaratan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin sebelum dicatatkan pernikahannya oleh Kantor Urusan Agama (KUA),” ungkapnya.
Terkait dengan kemiskinan ekstrem, tambahnya, masalah pensasaran masih menjadi tantangan bagi pemerintah daerah, sehingga perlu dilakukan pengawasan ketepatan pensasaran dan penyaluran baik oleh BPKP maupun oleh Inspektorat daerah.
Koodinator Pengawasan Bidang Instansi Pemerintah Pusat(Korwas IPP) BPKP NTB, Moh. Fazlurrahman dan Tim menyampaikan bahwa dari hasil pengawasan Perwakilan BPKP NTB di lapangan, masih ditemukan kelemahan-kelemahan penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem dari sisi kebijakan, tata kelola, akuntabilitas, kebermanfaatan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah di Provinsi NTB.
Terkait stunting, diperlukan penyem purnaan Peraturan Gubernur/Bupati/ Walikota agar selaras dengan Peraturan Presiden 72/2021, tagging dan konvergensi intervensi anggaran-spesifik/sensitif yang lebih jelas dan juga keseriusan dalam implementasi intervensi yang telah direncanakan.
Selain itu peran TPPS sebagai ”playmaker” kelembagaan penanganan stunting harus ditunjukkan secara nyata dan berkelanjutan. Terkait data pencatatan stunting, jumlah antropometri kit maupun USG yang ada belum sebanding dengan jumlah posyandu di kabupaten/kota, selain permasalahan SDM dan metodologinya.
Mengenai kemiskinan ekstrem, pemerintah daerah di Provinsi NTB perlu menyusun dan/atau menyempurnakan Rencana Penanggulangan Kemiskinan daerah agar memuat intervensi atas kemiskinan ekstrem maupun penggunaan data pensasaran yang telah diverifikasi dan divalidasi.
Kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) harus berperan aktif untuk mendorong proses ini. Selain itu masih banyak intervensi program terkait kemiskinan ekstrem yang belum berdasarkan data P3KE.
“Masih kami jumpai masyarakat yang masuk dalam desil 1 P3KE, namun sama sekali belum pernah menerima intervensi , baik dari strategi penanganan beban pengeluaran tinggi maupun dari peningkatan produktivitas dan pendapatan,” jelasnya.
Korwas IPP BPKP NTB juga mengingatkan diperlukan sinergi intens antara BPKP dengan APIP dan pemerintah daerah serta BKKBN dan K/L pusat lainnya dalam mengawal tercapainya penghapusan miskin ekstrem (0%) dan penurunan stunting di bawah 14% sesuai dengan target nasional pada tahun 2024. (ham/*)