Mataram (Suara NTB) – Dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di akhir April 2024, guru menjadi kelompok profesi terbesar yang terjerat pinjaman online (pinjol). Terkait hal itu, guru diingatkan untuk menghindari gaya hidup konsumtif.
Plt. Kepala Balai Guru Penggerak (BGP) NTB, Drs. Suka, M.Pd., ditemui di Mataram akhir pekan kemarin mengatakan, sebagai UPT Kemendikbudristek yang tugasnya membina guru, pihaknya sering menyampaikan agar guru jangan mudah hidup konsumtif. Bentuk pengawasannya pun relatif sulit, karena utang piutang termasuk ke ranah pribadi masing-masing guru.
“Kalau sudah ke ranah pribadi kan masuknya (pembinaan, red) susah, kita tidak tahu kebutuhan orang. Kami sebagai pembina guru menyampaikan di berbagai pertemuan, jangan mudah hidup konsumtif,” ujarnya.
Menurutnya, gaya hidup konsumtif di era saat ini juga relatif terasa. Contohnya, jika ada satu guru yang memiliki mobil, temannya juga pengin beli mobil dan akhirnya berutang.
“Dulu saya saat menjadi guru SD, tidak ada mobil diparkir di sekolah. Sekarang beda, ada mobil di sekolah, zaman berbeda. Perbedaan zaman itu harusnya diikuti dengan kemampuan diri, mampu atau tidak mengikuti perkembangan zaman,” ujar Suka.
Suka juga menampik adanya tudingan bahwa banyak guru terjerat pinjol karena adanya gap penghasilan antara profesi guru dengan profesi lainnya. Menurutnya, banyak hal yang menyebabkan guru berutang.
“Sekarang sudah ada sertifikasi. Kalau membandingkan dengan profesi lain, maka tidak selesai-selesai (pembahasannya). Bukan masalah sejahtera, bisa jadi guru itu terlilit utang, kepepet, tidak ada jalan lain jadi terpaksa lewat pinjol,” jelas Suka.
Kehadiran guru penggerak ini dianggapnya salah satu upaya untuk menguatkan karakter para guru. Menjadi guru penggerak memang bukan sebatas mencapai standar finansial tertentu, tetapi penekanan pada pengabdian.
“Makanya di guru penggerak itu menanamkan karakter: hidup sederhana, gotong royong, dan karakter lainnya,” pungkas Suka.
Sebelumnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) berharap pemerintah lebih peka terhadap profesi mulia ini, karena masih adanya gap penghasilan guru yang cukup jauh dibandingkan profesi-profesi lainnya. “FSGI menyadari bahwa sumber penghasilan guru saat adalah gaji dan sebagiannya lagi dari tunjangan profesi. Mungkin perlu kebijakan keuangan lain seperti tunjangan fungsional khusus yang lebih berkeadilan,” harap Ketua FSGI NTB, yang juga Wakil Sekjen FSGI, Mansur, pada Selasa 14 mei 2024 Menurut Mansur, tak dapat disangkal bahwa orang terjerat pinjol karena beberapa faktor, yaitu gaji kecil, gaya hidup, dan kurang pengetahuan soal pinjol. “Jadi ketika 43 persen guru ternyata terjerat Pinjol, maka negara khususnya Kemendikbudristek wajib mencarikan solusinya,” ujarnya.
Meski demikian, diakuinya bahwa pemerintah sedang berupaya memperbaiki tingkat penghasilan guru melalui pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) baru dan mempermudah proses Pendidikan Profesi Guru (PPG), agar lebih banyak guru yang tersertifikasi dan berhak mendapatkan tunjangan profesi.
Beberapa hal perlu diperhatikan oleh pemerintah. Mansur menyebutkan, misalnya terkait tunjangan profesi, banyak guru tidak keberatan tunjangan dibayar tiga bulan. Namun, ia memohon mekanisme pencairannya diperjelas. Misalnya, maksimal tanggal 10 pada bulan ke-empat. Hal ini tentu akan membantu guru dalam merencanakan keuangannya.
Namun, tentu saja secara mandiri guru harus berbenah diri. Guru tidak boleh miskin pengetahuan terhadap model-model penawaran jasa keuangan yang ada, tidak boleh asal mengikuti tren gaya hidup yang dilihat. “Jika pun gaji masih kecil, tunjangan kurang atau bahkan tidak ada namun masih dapat menjalankan tugas dengan baik dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti pinjol ini,” pungkas Mansur. (ron)