Mataram (Suara NTB) – Kebijakan penghapusan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Kurikulum Merdeka sebagai langkah untuk memerdekakan siswa dalam memilih pelajaran yang diminati. Meski demikian, ketersediaan guru jadi tantangan dalam penghapusan jurusan di SMA itu.
Pengamat Pendidikan yang juga Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram (FKIP Ummat), Dr. Muhammad Nizaar, M.Pd.Si., pada akhir pekan kemarin mengatakan, kebijakan penghapusan jurusan tersebut memang arahnya untuk memerdekakan siswa dalam memilih pelajaran (mapel) yang diminati.
Namun, dalam praktiknya tidak mudah untuk dilakukan oleh sekolah. Siswa diberikan kebebasan memilih mapel yang mereka inginkan, sehingga akan berdampak pada banyaknya kelompok belajar di sekolah. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, karena pemilihan mapel sangat bergantung dari ketersediaan guru di sekolah tersebut.
“Karena bervariasinya pilihan siswa, sehingga sekolah harus menyediakan guru yang cukup,” ujar Nizaar.
Penjurusan di SMA harapannya bisa membuat siswa semakin fokus menuju jenjang studi di perguruan tinggi. SMA menfasilitasi tiga rumpun utama keilmuan yaitu IPA, IPS, dan bahasa. Dari tiga rumpun tersebut dapat menyebar ke jurusan-jurusan yang memang sudah disediakan oleh perguruan tinggi.
Nizaar mengatakan, memang ada stigma jika mengambil jurusan IPA di SMA maka itu kelompok siswa-siswa yang pintar, sedangkan jurusan bahasa dan IPS kurang bergengsi. Stigma itu pula salah satunya yang memengaruhi pemerintah dalam menghapus penjurusan di SMA.
“Menurut hemat kami, sebaiknya perlu dilakukan empowerment terhadap kedua jurusan tersebut. Misalnya memperbanyak aktivitas olimpiade dan kompetisi lainnya agar semakin bergengsi, karena selama ini yang paling sering olimpiade adalah jurusan IPA. Jika pemerintah bisa mengkondisikan hal tersebut maka stigma tersebut akan hilang dengan sendirinya,” sarannya.
Menurutnya, dikotomi keilmuan juga menjadi pertimbangan pemerintah sehingga menghapus penjurusan. Padahal, justru menfokuskan siswa untuk siap pada bidang tertentu saat SMA akan membuat siswa semakin siap memilih jenjang berikutnya.
Pemilihan mapel sebagai pengganti jurusan memang sudah diterapkan oleh SMA penggerak atau SMA yang telah menerapkan kurikulum merdeka. Walau siswa memilih mapel tertentu, tapi pihak sekolah tetap bergantung dengan ketersediaan guru yang bisa melayani pilihan siswa tersebut.
Kondisi itu diakui Kepala SMAN 1 Kayangan, H. Moch. Fatkoer Rohman, S.Pd., M.Pd., pada Jumat, 19 Juli 2024. Ia menjelaskan, kelas XI dan XII memiliki dua macam mapel, yaitu mapel umum dan mapel pilihan. Mapel umum diikuti oleh semua siswa. Sedangkan mapel pilihan berbeda-beda. Sekolah wajib menyediakan tujuh mapel pilihan, siswa memilih lima mapel yang disukai sesuai minat dan bakat.
Namun, walau siswa bebas memilih mapel, sekolah tidak bisa melayani semua keinginan siswa tersebut. Tetap tergantung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia.
“Saat siswa memilih, kami survei, meminta anak memilih lima mapel. Setelah dipilih, kami analisis dengan kebutuhan yang ada. Misalkan kalau hasil survei itu banyak sekali yang memilih informatika, tetapi ketersediaan guru terbatas, tidak bisa semua kita layani. Walau siswa memilih tetap sekolah mengatur kembali tergentung kesiapan guru yang ada,” jelas Fatkoer.
SMAN 1 Kayangan merupakan sekolah pelaksanana Program Sekolah Penggerak (PSP) Angkatan 2. Karena itu, SMAN 1 Kayangan sudah menerapkan kurikulum merdeka sejak tahun ajaran 2022/2023. Maka, pada tahun ajaran baru ini, semua kelas sudah melaksanakan kurikulum merdeka. Pihaknya sudah menerapkan penghapusan penjurusan tersebut.
Meski demikian, Fatkoer menekankan, jangan sampai siswa salah memilih mapel. Menurutnya, ada juga kecenderungan siswa ikut-ikutan memilih mapel tertentu. Oleh karena itu, di situlah perlunya bimbingan dari guru BK. Andaikan siswa salah pilih mapel, mereka bisa membatalkan pilihan mapel tersebut. (ron)