Giri Menang (Suara NTB) – Unicef bekerja sama dengan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengda NTB, Dinas Kesehatan Provinsi NTB, dan Dinas Kesehatan Kota Mataram dan Dinas DP3AKB untuk mengatasi hambatan terkait gender yang dihadapi oleh pengasuh, pekerja kesehatan, dan remaja untuk memastikan akses yang adil terhadap vaksinasi. Hambatan terkait gender juga dapat berdampak tidak langsung pada imunisasi.
Hal ini menjadi salah satu materi yang dibahas dalam sosialisasi vaksinasi, Kamis 19 September 2024 lalu di Golden Palace Mataram yang melibatkan 79 orang peserta. Kegiatan tersebut diikuti dari unsur tokoh agama atau Dai, Dewan Masjid Indonesia, Ormas Muhammadiyah, Ormas Nahdatul Wathan Darul Islam (NWDI), Ormas NW, Ormas Nahdatul Ulama, Jamaah Islamic Centre, perwakilan juru parkir, Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan dari pesantren, Majelis Adat Sasak, Dikes Provinsi NTB, Dikes Kota Mataram, Bappeda Provinsi NTB, IAKMI, dan unsur media.
Ketua Pengda IAKMI Provinsi NTB, H.Mohammad Abdullah, SKM., MQIH., mengatakan, norma sosial dan budaya, dan status perempuan yang tidak setara di banyak masyarakat, dapat mengurangi peluang anak-anak untuk divaksinasi, dengan mencegah Pengasuh mereka mengakses layanan imunisasi. Karena norma gender, seringkali menjadi tanggung jawab perempuan untuk membawa anak-anak untuk vaksinasi. Namun perempuan di negara-negara berpenghasilan rendah sering menghadapi hambatan terkait gender untuk melakukannya, termasuk keterbatasan waktu karena beban kerja yang tinggi, dana terbatas untuk transportasi, maupun kurangnya akses ke informasi tentang pencegahan penyakit.
Di banyak negara, vaksinator sebagian besar adalah perempuan, dan mereka mungkin menghadapi hambatan dalam memberikan layanan vaksin karena norma gender, kondisi kerja yang tidak aman, gaji yang buruk atau tidak teratur, dan beban kerja yang berat. Indeks Pembangunan Gender Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan bahwa negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi memiliki cakupan imunisasi yang lebih tinggi.
Di tingkat global, tidak ada perbedaan signifikan dalam cakupan imunisasi untuk anak laki-laki dan perempuan. Namun, di beberapa negara dan masyarakat, diskriminasi gender berarti bahwa anak laki-laki memiliki akses yang lebih besar terhadap vaksin daripada anak perempuan. Di negara dan masyarakat lain, yang terjadi adalah sebaliknya, anak perempuan memiliki akses yang lebih besar.
“UNICEF bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTB dan Dinas Kesehatan Kota Mataram untuk mengatasi hambatan terkait gender, dan memastikan semua anak dari semua jenis kelamin memiliki akses yang sama terhadap vaksin,” ujarnya. Hambatan umum yang berkaitan dengan gender terhadap vaksinasi, di antaranya pengasuh kurang memiliki informasi dan kesadaran tentang manfaat vaksinasi.
Pembagian tugas dalam rumah tangga dapat mengurangi keterlibatan ayah dalam tugas mengasuh anak, termasuk vaksinasi. Status sosial ekonomi yang rendah dari pengasuh atau kurangnya akses perempuan terhadap dana rumah tangga dapat membatasi kemampuan untuk menanggung biaya tidak langsung vaksinasi. Praktik keagamaan atau nilai-nilai budaya dapat mencegah perempuan yang mengasuh anak untuk mencari layanan imunisasi dari petugas kesehatan laki-laki.
Perjalanan jauh ke klinik kesehatan dapat membuat perempuan, khususnya ibu muda, enggan membawa anak mereka untuk mendapatkan imunisasi karena alasan keselamatan dan mobilitas. Selain itu, waktu tunggu yang lama di klinik dan tempat imunisasi yang hanya buka selama jam kerja dapat menimbulkan konflik dengan pengasuh yang bekerja di kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Sikap negatif dari beberapa penyedia layanan kesehatan dapat membuat perawat enggan untuk kembali melakukan kunjungan untuk menyelesaikan jadwal imunisasi.
Penguatan sistem kesehatan sebagai bagian dari upaya ini, negara-negara yang didukung Gavi didorong untuk menganalisis dan memahami bagaimana cakupan bervariasi berdasarkan jenis kelamin, pendapatan, dan lokasi geografis untuk membantu mengidentifikasi alasan rendahnya cakupan imunisasi pada kelompok tertentu. Upaya untuk lebih memahami hambatan dan aktivitas terkait gender sangat penting untuk menemukan solusi bagi hambatan yang seringkali tidak kentara namun penting ini, yang dapat mencegah anak-anak dari semua jenis kelamin untuk mendapatkan imunisasi.
Misalnya, dalam situasi di mana dianggap tidak pantas bagi seorang wanita atau anak perempuan untuk menemui vaksinator atau petugas kesehatan pria, kita perlu membantu memastikan bahwa petugas kesehatan wanita terlatih dan tersedia untuk memberikan layanan imunisasi kepada wanita dan anak-anak. Karena itulah, diadakan kegiatan sosialisasi imunisasi ini untuk neningkatkan pemahaman semua pihak tentang manfaat imunisai bagi anak serta adanya risiko bila anak tidak memiliki kekebalan tubuh. Meningkatkan komitmen dukungan para pihak untuk memanfaatkan layanan imunisasi.
Dalam sosialisasi ini berlangsung dua arah, antara peserta dengan narasumber. Di mana dilibatkan narasumber di antaranya Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Kepala Dinas Kota Mataram, Tokoh Agama (Ketua MUI Provinsi NTB), Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB, Kabid P2P Dinas Kesehatan Provinsi NTB dan Kabid P2P Dinas Kesehatan Kota Mataram. (her)