Mataram (Suara NTB) – Ekspor non-tambang di Nusa Tenggara Barat (NTB), yang sebelumnya memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, mengalami penurunan pada tahun 2024. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah cuaca ekstrem yang berdampak pada penurunan produktivitas komoditas pertanian unggulan.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTB, Berry Arifsyah Harahap, menjelaskan bahwa kekeringan yang terjadi pada awal tahun 2024, khususnya pada bulan Januari hingga Februari, memberikan dampak signifikan terhadap hasil pertanian di wilayah tersebut.
“Beberapa komoditas pertanian sangat terpengaruh oleh kondisi cuaca ekstrem, seperti kekeringan yang menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Hal ini menyulitkan petani untuk mencapai hasil yang optimal tanpa mengorbankan kesuburan tanah,” ujar Berry dalam pertemuan yang berlangsung pada Kamis, 9 Januari 2025.
Salah satu komoditas yang paling terdampak adalah bawang dari Bima, yang merupakan salah satu pusat produksi utama di NTB. Banyak petani yang terpaksa berpindah ke daerah Sumbawa karena menurunnya kesuburan tanah di Bima. Berry mencatat bahwa fenomena ini langsung berdampak pada penurunan ekspor sektor pertanian.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Berry menekankan pentingnya penggunaan pupuk organik sebagai upaya untuk memulihkan kesuburan tanah. Namun, ia juga mengakui bahwa pupuk organik tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran pupuk kimia dalam mempertahankan kualitas hasil pertanian.
Selain itu, pemahaman yang lebih mendalam mengenai kebutuhan pasar juga menjadi kunci untuk meningkatkan kinerja ekspor non-tambang. “Jika kita memproduksi tanpa memahami kebutuhan pasar, produk kita bisa saja tidak laku atau bahkan gagal di pasar,” jelas Berry.
Berry juga mengungkapkan tantangan terkait keberlanjutan produksi sebagai hambatan ekspor. Beberapa komoditas yang sebelumnya mampu diproduksi dan diekspor dalam jumlah besar kini kesulitan memenuhi permintaan akibat kurangnya pasokan bahan baku dari daerah.
“Contohnya, komoditas ketak yang sebelumnya rutin diekspor kini mulai hilang dari pasar. Hal ini disebabkan oleh persaingan dengan daerah lain yang memiliki pasokan bahan baku yang lebih stabil,” ujarnya.
Berry menegaskan bahwa pengembangan ekosistem produksi yang solid dan penerapan teknologi modern sangat penting untuk meningkatkan daya saing ekspor NTB. Pengembangan ini mencakup riset pasar, keberlanjutan produksi, dan efisiensi distribusi.
“Jika ekosistem ini tidak dikembangkan, ekspor kita hanya akan bersifat sporadis dan tidak terjamin,” tegasnya.
Integrasi teknologi dalam proses produksi dan distribusi juga dianggap penting untuk meningkatkan efisiensi dan memastikan kelangsungan pasokan barang dalam jangka panjang. Berry menyebut langkah ini sebagai kunci agar ekspor NTB tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga berkelanjutan.
“Ke depannya, kita perlu mengembangkan ekosistem yang menyeluruh agar ekspor NTB lebih stabil dan berkelanjutan. Semua pihak harus berkontribusi dalam pengembangan ini,” pungkasnya. (bul)