Mataram (Suara NTB) – Pemerintah Provinsi NTB akan membentuk tim terpadu atau satgas untuk menertibkan pertambangan tanpa izin (PETI) yang meresahkan. Satgas ini nantinya akan berfungsi untuk melakukan pendataan dan identifikasi tambang ilegal, fasilitasi perizinan, serta pengawasan yang bersifat humanis.
Plt Kepala Dinas ESDM NTB, Izzuddin Mahili mengatakan satgas yang dibentuk ini akan lebih memperhitungkan sisi humanisme. Artinya, penertiban dilakukan tidak dengan penekanan maupun pemaksaan.
“Satgas ini nantinya tidak bersifat represif, tetapi lebih kepada bagaimana masyarakat yang tidak memiliki izin dapat memperoleh izin secara resmi. Yang jelas, pertambangan ilegal terus meningkat setiap tahunnya, dan kita juga perlu memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan,” ujarnya kepada Suara NTB, Jumat, 31 Januari 2025.
Menurutnya, pertambangan tanpa izin ini terus meningkat setiap tahunnya. Khususnya di wilayah Sumbawa yang menjadi atensi DPRD NTB. Oleh karena itu, pemerintah akan memusatkan perhatian pada wilayah tersebut.
Di samping menertibkan pertambangan rakyat ilegal, pemerintah daerah juga memiliki kewajiban untuk menyiapkan pemberdayaan ekonomi lokal bagi masyarakat yang bergantung pada sektor pertambangan ilegal.
“Kita tidak bisa serta-merta menghentikan mereka tanpa menyediakan alternatif mata pencaharian lain. Masyarakat ini sudah terbiasa bekerja di sektor pertambangan, sehingga jika ingin menghentikan aktivitas ilegal ini, kita harus memastikan bahwa lapangan pekerjaan lain tersedia,” lanjutnya.
Sebagai langkah awal dalam mengatasi permasalahan ini, di tahun 2025 ini, pihaknya berencana untuk menerapkan Good Mining Practice (GMP) atau tata kelola pertambangan yang baik.
Selain itu, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sudah disiapkan oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian ESDM. Pemerintah Provinsi juga tengah mempersiapkan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun, masih ada kendala dalam proses ini, terutama dalam hal pendanaan.
“Sebelum menerbitkan IPR, ada lima kegiatan yang harus dilaksanakan oleh Pemprov, sementara saat ini anggaran untuk kegiatan tersebut belum tersedia di Dinas ESDM. Untuk WPR, terdapat lima dokumen yang harus disiapkan, dan kita masih memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan dua dokumen lagi, yakni dokumen rencana reklamasi dan dokumen pascatambang. Semua ini memerlukan biaya yang cukup besar,” jelasnya.
Pemerintah Provinsi saat ini terus melakukan koordinasi dengan TAPD dan DPRD guna mencari solusi terbaik agar penetapan WPR sampai penertiban IPR dapat berjalan secara optimal. Langkah ini diharapkan dapat menjadi jalan tengah dalam mengatasi permasalahan PETI, menjaga lingkungan, serta memastikan kesejahteraan masyarakat yang selama ini bergantung pada aktivitas tambang ilegal.
“Nah ini kita lagi koordinasi sama eksekutif dan DPRD karena kan ada lima kegiatan yang ditanggung oleh Pemprov, sebelum menertibkan IPR ada lima kegiatan yang harus kita laksanakan, dan kita di ESDM belum ada anggarannya,” pungkasnya. (era)