Tanjung (Suara NTB) – PHO (Provisional Hand Over) proyek gedung DPRD Kabupaten Lombok Utara (KLU) pada 10 Februari 2025 lalu masih menuai sorotan. Usai inspeksi mendadak (sidak) pada Senin, 17 Februari 2025, Komisi III DPRD KLU kembali mengkritisi, dimana efisiensi PHO dengan sisa 10 hari kerja dinilai sebagai upaya untuk mengelabui denda kontrak yang harusnya masuk kas daerah.
“Sebagai bentuk tugas pengawasan, kami di Komisi III sebenarnya ingin proses pelaksanaan pembangunan berjalan tertib. Karena dari proses perencanaan awal, kami sudah kritisi,” ungkap Anggota Komisi III DPRD KLU, M. Indra Darmaji Asmar, ST., Jumat, 21 Februari 2025.
Jika dilihat secara umum, jelasnya, proyek kantor DPRD KLU layak dijadikan sampel dari proyek-proyek lain. Letak yang berada dekat dengan kantor lama DPRD memberi pesan, seharusnya kontraktor dapat bekerja secara profesional, karena DPRD bisa melakukan inspeksi sewaktu-waktu.
Namun lebih dari itu, politisi dengan latar belakang Konsultan Teknis ini melihat sejumlah praduga yang patut dikedepankan. Pertama, nilai proyek dari rencana awal berubah-ubah. Pagu perencanaan anggaran kantor DPRD berubah dari Rp 25 miliar, kemudian Rp 15 miliar, dan turun lagi menjadi Rp 7 miliar lebih. Seluruh perubahan ini tentu menghabiskan dana konsultansi yang tidak sedikit.
Pun demikian dengan konstruksi yang disetujui saat ini. Desain yang disetujui berubah di tengah jalan dengan konskuensi “pemborosan” atau pembengkakan anggaran pada perubahan perencanaan. Gedung awal diketahui memiliki desain, di mana area ruang sidang terdapat 4 tiang bangunan yang menghalangi pandangan peserta rapat paripurna. Perubahan untuk menghilangkan 4 tiang pada desain lama ini menghabiskan anggaran Rp 450 juta.
Kedua, pada pagu anggaran konstruksi sebesar Rp 10 miliar, DPRD pernah memberi masukan agar tidak dipecah (seluruhnya digunakan untuk Kantor DPRD). Namun oleh eksekutif, paket lelang itu masing-masing Rp 7,3 miliar untuk kantor DPRD dan Rp 6,7 miliar untuk Kantor Dinsos PPPA.
“Akibat pemecahan proyek ini, dampaknya pada konstruksi utama kantor DPRD. Tahun ini, kantor DPRD dianggarkan lagi Rp 3 miliar, dengan pola konstruksi yang menempel pada gedung utama. Artinya ketika tahap 2 dibangun, maka tembok bagian selatan wajib dijebol. Apakah ini tidak berarti merugikan keuangan negara? Aset yang baru dibangun kemudian dibobol. Belum lagi dengan sistem sambungan, kekuatan bangunan menjadi tidak utuh,” tegasnya.
Persoalan lain pada Kantor DPRD, Darmaji mengisyaratkan akan mengecek ulang kondisi bangunan yang dianggap sudah di-PHO tersebut. Pasalnya, pada proses awal, pihaknya melihat terdapat 2 unit baja tulang rangka atap tidak dicat oleh pelaksana. Pengecatan atap rangka baja ini sudah tersedia dalam RAB.
“Secara teknis kuda-kudaan rangka baja ini harus dicat. Ini penting karena daerah kita ada di wilayah pesisir, udara yang masuk ke ruangan membawa unsur garam yang tinggi, sehingga besi baja rentan korosi,” terangnya.
Lantas apakah item yang tidak dicat dapat dianggap sebagai pekerjaan yang belum selesai? Menjawab itu, politisi Partai Golkar ini menegaskan, sejak dilakukan sidak pasca-PHO, pihaknya menemukan pintu utama belum terpasang, di samping beberapa item pekerjaan minor lain yang belum selesai. Artinya, kata dia, kendati regulasi membolehkan PHO pada posisi konstruksi fisik 95 persen, tetapi PPK harusnya menjadikan itu alibi untuk memajukan PHO 10 hari lebih cepat. Sebab perpanjangan masa kerja 50 hari sudah menjadi bagian dari kesepakatan antara Dinas dengan Kontraktor.
“Apa salahnya menghabiskan waktu 50 hari kerja. Jadi, dimajukannya jadwal PHO ini, analisa kami untuk mengelabui denda keterlambatan. Lumayan 10 hari ada Rp 100 juta ke daerah. Maka, kita minta BPK atensi khusus proyek gedung DPRD ini. Kalaupun sudah PHO, kita profesional saja, tidak boleh lagi ada tukang yang bekerja dengan dalih servis,” tandasnya.
Sementara, Kepala Bidang Cipta Karya sekaligus PPK proyek, Rangga Wijaya, ST., menanggapi penilaian sejumlah Komisi III DPRD KLU saat sidak proyek beberapa waktu lalu, mengedepankan asas manusiawi kepada kontraktor.
“Masa dengan kita membongkar sedikit, servis yang kurang-kurang itu, kita nambah lagi beban kepada kontraktor. Saya juga di satu sisi kemanusiaan, dia sudah apa namanya, dianggap bagus. Apa layak dari sisi manusiawi kita, memberikan denda (atas pekerjaan) yang kecil-kecil,” ujarnya.
Kendati demikian, sebagaimana penjelasan kepada media sebelumnya, PPK menyebut jika PHO atas proyek gedung DPRD tersebut sudah dapat dilakukan ketika pekerjaan mencapai 95 persen. (ari)