Mataram (Suara NTB) – Pemprov NTB melalui UPTD Gili Tramena masih terus berupaya menjalin kerja sama pemanfaatan lahan milik Pemprov dengan mitra usaha di Gili Trawangan. Sampai saat ini sebanyak 135 mitra telah menyepakati klausul kerja sama antara kedua belah pihak. Namun ada seratusan mitra belum membubuhkan tanda tangan kesepakatan usaha.
Kepala UPTD Gili Tramena Mawardi Khairi mengatakan, ada sejumlah tantangan dan kendala di lapangan terkait dengan kerja sama pemanfaatan lahan tersebut. Misalnya masyarakat meminta Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada Pemda. Sebagian lainnya menganggap nilai retribusi yang dikenakan masih mahal, sehingga belum mau menandatangani kontrak yang sudah dibuat.
“Jumlah kontrak dari 2022-2024 sebanyak 279 kontrak, namun yang sudah sepakat sebanyak 135 mitra. Sisanya belum mau tanda tangan. Salah satu alasannya karena mereka meminta SHM dan menilai retribusi mahal. Adapun nilai retrebusi sesuai dengan ketentuan yaitu 25.000/m2 atau 1 are 2,5 juta. Hal ini berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah,” kata Mawardi Khairi kepada Suara NTB, Rabu, 19 Maret 2025.
Meski masih menghadapi sejumlah tantangan kata Mawardi, jumlah PAD yang telah dihasilkan oleh UPTD Gili Tramena dari hasil kerja sama dengan para mitra kerja dari tahun 2023 – 2025 sebesar Rp7 miliar.
Jika dirinci, pada tahun 2022, terdapat total 222 mitra yang terdaftar, di mana sebanyak 82 mitra telah berkontrak, sementara 140 mitra belum berkontrak. Selanjutnya, pada tahun 2023, jumlah mitra yang terdaftar sebanyak 17 mitra, dengan 15 mitra di antaranya telah berkontrak dan 2 mitra belum berkontrak. Selanjutnya di tahun 2024 ada peningkatan jumlah mitra menjadi 40, di mana 38 mitra telah berkontrak dan 2 mitra belum berkontrak.
Sebagai informasi tambahan, hasil pendataan tahun 2021 mencatat sebanyak 741 mitra KSP. Dari jumlah tersebut, 135 mitra telah berkontrak, sementara 152 mitra belum berkontrak, dan 462 mitra belum diproses lebih lanjut.
Selain hambatan berupa adanya permintaan SHM dan retribusi yang dinilai tinggi, hambatan juga terkait dengan sewa menyewa masyarakat dan investor yang telah lunas serta status kawasan Gili Tramena yang telah lama ditetapkan sebagai hutan konservasi atau taman wisata alam laut.
Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri tahun 2001 dan Keputusan Menteri LHK yang diterbitkan tahun 2021. Status ini membatasi ruang gerak dalam penataan, baik di darat maupun laut, serta menjadi alasan minimnya investasi akibat ketidakpastian hukum bagi investor dan masyarakat.
“Semuanya terhambat di situ. Ini yang membuat orang belum ingin bekerja sama dengan pemprov, jadi kepastian hukum harus diprioritaskan,” jelasnya.
Untuk menata kawasan Taman Wisata Perairan Gili Tramena, Pemprov NTB juga harus melibatkan Pemda Lombok Utara stakeholder terkait, seperti masyarakat, pengusaha hotel dan restoran, serta Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang. BKKPN merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI. “Kawasan perairan Gili Tramena masuk wilayah kerja mereka,” tegas Mawardi.(ris)