spot_img
Senin, April 28, 2025
spot_img
BerandaNTBFenomena Bunuh Diri dari Sudut Pandang Psikiatri dan Psikologi

Fenomena Bunuh Diri dari Sudut Pandang Psikiatri dan Psikologi

Mataram (Suara NTB) – Kasus bunuh diri masih menjadi persoalan yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Jika tidak ada solusi yang diberikan dikhawatirkan kasus bunuh diri di NTB bisa semakin meningkat. Sebagai contoh, pada pekan kemarin ada dua kasus bunuh diri yang terjadi di Pulau Lombok, satu di Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan satu lagi di Kabupaten Lombok Timur (Lotim).

Psikiater pada Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mutiara Sukma dr. Yolly Dahlia, Sp.Kj., menjelaskan, fenomena kasus bunuh diri dapat disebabkan berbagai faktor, seperti gangguan mental, depresi, skizofrenia, gangguan kepribadian dan, gangguan penyalahlagunaan zat. Sementara pencetus terjadinya gangguan mental tersebut dapat disebabkan masalah psikososial,seperti masalah dalam pekerjaan, pergaulan, keluarga, konflik internal (ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan) maupun eksternal, termasuk dengan masalah hukum.

‘’Untuk kasus ASN bunuh diri ini, kemungkinan disebabkan karena yang bersangkutan merasa tertekan, malu, dan putus asa dikarenakan masalah atau kondisi yang dihadapinya dan merasa sulit untuk jalan keluar untuknya, hingga akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya,’’ ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Suara NTB, Jumat 21 Maret 2025.

Dalam hal ini, ujarnya, keluarga harus mampu mengenali tanda-tanda awal adanya masalah atau gangguan mental pada anggota keluarga.

Dicontohkannya, ketika sudah ada perubahan sikap seperti menarik diri (tidak merawat diri dengan baik, tidak mau berkomunikasi, tidak mau makan minum). Termasuk ada pernyataan negatif yang mengarah keinginan mengakhiri hidup maka harus segera untuk mendapatkan bantuan medis seawal mungkin saat sudah bisa mengenai tanda-tandanya. Selain itu memastikan pengobatan tetap bisa berjalan sesuai arahan dokter.

Hal senada disampaikan Psikiater dr. H. I Putu Diatmika, M.Biomed., Sp.KJ., M.H. Menurutnya, fenomena bunuh diri merupakan multifaktor efek, seperti biologi, psikologis, sosial, budaya, hingga religi.

‘’Penilaian kasus kecil atau besar tidak berdasarkan POV (Point of View) kita, namun dari korban karena yang menurut kita masalah kecil belum tentu sama dengan persepsi korban. Sehingga perlunya kita mendapatkan gambaran kasus dari setiap kejadian,’’ terangnya.

Dalam mengatasi masalah ini, harapnya, keluarga perlu untuk menjalankan pemenuhan kebutuhan akan aspek kelekatan, keberfungsian keluarga sebagai pembimbing, pendamping dan berlindung.

‘’Menjadi teman bicara untuk mendapatkan gambaran masalah yang dihadapi oleh korban untuk dapat mencari jalan keluar. Tidak menghakimi dan menyalahkan , tidak fokus di masalah tapi solusi,’’ terangnya.

Untuk itu, tambahnya, secara offline RSJ Mutiara Sukma sudah memiliki layanan yang lengkap mulai dari preventif dengan melalui kegiatan eksternal seperti pojok healing yang dilaksanakan setiap minggu di Car Free Day Udayana, penyuluhan langsung ke pasien dan keluarga di rawat jalan, edukasi melalui kegiatan Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) ke sekolah-sekolah, Psikolog Goes To School di sekolah-sekolah, hingga layanan rehab dengan layanan rawat jalan. Serta adanya pemanfaatan aplikasi mutiara Sukma melalui fitur Lapor Budir sebagai layanan pencegahan orientasi bunuh diri berbasi aplikasi.

Terhadap kasus bunuh diri di Lombok Timur, ujarnya, perlu digali Kembali terkait tekanan gangguan yang ia dapatkan. ‘’Saya menduga ada hal yang menekan dia, sehingga membutuhkan uang yang dipinjamkan untuk segera dikembalikan. Namun hanya dugaan terbaik adalah autopsi verbal dengan turun mencari data ke lokasi dan lingkungan korban,’’ terangnya.

Sementara kasus di Lombok Utara, kasus ini berkaitan dengan faktor budaya yang berisi norma yang kuat. Apalagi korban adalah seorang ASN dan imam masjid yang terduga mencuri dan viral, sehingga menjadikan faktor pendorong untuk pengambilan keputusan mengakhiri kehidupan.

Sementara dari perspektif psikologi. Psikolog Klinis RSJ Mutiara Sukma Hellen Citra Dewi, M.Psi., menyebut banyak hal yang menjadi pemicu seseorang melakukan bunuh diri. Menurutnya, keinginan seseorang bunuh diri dipengaruhi oleh faktor kepribadian, faktor lingkungan sosial dan stresoor itu sendiri. ‘’Seperti pengalaman kurang menyenangkan, kejadian buruk yang terjadi dan lainnya,’’ jelasnya.

Menurutnya tidak bisa mengatakan permasalahan A lebih mudah dihadapi daripada permasalahan B, karena ada faktor penilaian dan proses kognitif yang berbeda pada tiap orang. Persoalan kecil yang menumpuk akan membuat seseorang mengalami tekanan, sehingga bisa mengarah pada depresi.

Selain itu, tambahnya, banyak faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan tindakan bunuh diri, seperti permasalahan ekonomi, keluarga, percintaan, masalah sosial dan lain-lain ‘’Biasanya karena masalah-masalah yang tidak terselesaikan dan tidak adanya support system yang baik,’’ terangnya.

Terkait Upaya keluarga atau lingkungan untuk mencegah kasus bunuh diri pada anggota keluarganya, Hellen Citra Dewi, menyebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan keluarga. Sebagai contoh menjadi pendengar yang mampu berempati pada keluarga yang mengalami kondisi depresi atau pada keluarga yang sedang bercerita permasalahan hidupnya.

Selain itu tidak memberikan nasihat, menghakimi, apalagi menyalahkan korban. Menurutnya, kerap kali, nasihat akan membuat korban semakin merasa bersalah atas kondisinya yang justru memicu tindakan bunuh diri.

‘’Bantulah lingkungan dan keluarga untuk mengungkapkan rasa sakit baik secara emosi atau fisik. Kita juga perlu menciptakan lingkungan yang suportif dan positif. Dan jika kita melihat ada gejala depresi, seperti sedih berlarut, menyendiri, menarik diri, tidak mau melakukan aktivitas biasanya apalagi upaya melukai diri, maka keluarga/lingkungan perlu tindakan segera untuk membawa ke RSJ,’’ sarannya.

Maraknya fenomena bunuh diri yang terjadi tidak membuat pemerintah, khususnya melalui RSJ Mutiara Sukma berdiam diri. Direktur RSJ Mutiara Sukma, dr. Hj. Wiwin Nurhasida, M.M.Inov menyampaikan, jika pihaknya tetap berupaya melakukan sosialisasi ke masyarakat.

Adapun upaya yang telah dilakukan oleh RSJ Mutiara Sukma, ungkapnya, melalui instalasi Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan Kesehatan Jiwa Masyarakat (Keswamas) telah melakukan upaya dengan aktif secara konsisten dan terus menerus melakukan edukasi dan sosialisasi tentang isu kesehatan jiwa melalui berbagai platform. Termasuk pencegahan bunuh diri baik melalui media sosial dengan acara bincang jiwa dan siaran RRI Pro 4.

Mengenai berapa orang yang melakukan konsultasi ke Lapor Budir, Hj. Wiwin Nurhasida mengaku, hingga saat ini sudah terdata sebanyak 290 pasien yanng melakukan konsultasi ke Lapor Budir. Sebagian besar yang melakukan konsultasi perempuan dengan rentang usia 20-45th, dengan kasus mulai mengalami gangguan depresi, cemas, dan penyebabnya paling sering terkait dengan masalah percintaan, permasalahan rumah tangga hingga trauma masa lalu. (ham)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -





VIDEO