spot_img
Rabu, Maret 26, 2025
spot_img
BerandaNTBLOMBOK TIMURPengusaha Dorong Pemerintah Bangun ‘’Cold Storage’’

Pengusaha Dorong Pemerintah Bangun ‘’Cold Storage’’

BESARNYA potensi udang di NTB masih belum dibarengi dengan pendapatan bagi daerah. Pungutan retribusi atau perizinan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini menjadi atensi pengusaha tambak udang  asal Lombok sekaligus Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Lombok, Suryadi.

Suryadi mengakui pemerintah daerah kabupaten maupun provinsi tidak dapat bagian apa-apa dari aktivitas budidaya tambak udang. Hal itu karena tidak ada regulasi. Ia menyarankan agar pemerintah daerah dapat bagian, pemerintah daerah bisa membangun fasilitas cold storage sebagai tempat penampungan sementara hasil produksi udang.

Selain itu, Suryadi juga mendorong revisi regulasi pajak dan retribusi yang dianggap tidak sejalan dengan praktik bisnis tambak udang. Hal ini diungkapkan dalam diskusi dengan pemerintah daerah dan telah mendapat perhatian dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Suryadi, saat ini pengusaha tambak udang seringkali terbentur oleh ketidakjelasan regulasi. “Bukan soal mau tidak mau memberi, tapi payung hukum yang belum ada. Kalau dipaksa memberikan, kami bisa dijerat hukum,” ujarnya, akhir pekan kemarin.

Ia menekankan bahwa kondisi ini membuat harapan pengusaha dan regulasi yang ada tidak nyambung. Lombok, khususnya Lombok Timur (Lotim), menjadi pusat produksi udang dengan kontribusi mencapai 70% dari total produksi di wilayah tersebut, sementara sisanya tersebar di Lombok Utara (KLU). Daerah seperti Sambelia hingga Jerowaru dikenal sebagai kawasan utama budidaya udang.

Suryadi mengaku sudah beberapa kali melakukan diskusi dengan pemerintah, upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor ini masih terbentur oleh ketiadaan payung hukum.

Suryadi menjelaskan bahwa filosofi budidaya udang sebenarnya mirip dengan pertanian tembakau. “Petambak bukan produsen, melainkan hanya melakukan budidaya. Ibarat petani tembakau, kami membesarkan bibit kecil hingga masa panen,” katanya.

Ia menyarankan agar retribusi atau pajak seharusnya dipungut dari pembeli atau pabrik pengolahan, bukan dari petambak. “Seperti tembakau, retribusi diambil dari pabrik, bukan dari petani. Sama halnya dengan udang, seharusnya retribusi diambil dari pembeli,” tambahnya.

Saat ini, hasil produksi udang dari Lombok sebagian besar dibawa ke Jawa karena tidak adanya fasilitas cold storage di daerah. “Sekarang karena tidak cold storage ini, para pengepul membawa hasil produksi  ke Jawa. Sehingga yang menikmati keuntungan besar adalah Jawa,” ujar Suryadi.

Ia mendorong pemerintah daerah untuk membangun atau menggandeng investor dalam membangun cold storage di Lombok. Dengan adanya fasilitas ini, hasil produksi udang dapat dinikmati langsung oleh daerah.

Cold storage berfungsi sebagai gudang penampungan sementara yang menjaga kualitas udang setelah panen. “Udang vaname setelah panen harus segera masuk cold storage. Tanpa itu, udang bisa rusak dalam dua hari,” jelas Suryadi.

Menurutnya, dengan adanya fasilitas ini, rantai pasok udang dapat dikelola dengan lebih baik, sehingga kualitas produk yang sampai ke konsumen tetap terjaga.

Produksi udang di Lombok rata-rata mencapai 4.500 ton per tahun, dengan harga jual berkisar antara Rp 55.000 hingga Rp 65.000 per kilogram. Sebagian besar udang tersebut dikirim ke Jawa Timur. Namun, tantangan utama yang dihadapi petambak adalah risiko penyakit yang dapat menyebabkan kerugian besar. “Persentase kematian udang bisa tinggi jika serangan penyakit parah, terutama karena faktor genetika bibit dan teknik budidaya,” ujar Suryadi.

Selain itu, Suryadi juga menyoroti pembatasan zona tambak di Lombok yang tidak mengganggu sektor wisata. “Lokasi tambak dipilih di lahan kering, bahkan sebagian besar di area batu cadas, sehingga lebih produktif untuk budidaya udang,” katanya.

Namun, adanya cold storage dan revisi regulasi pajak yang lebih adil, Suryadi yakin bahwa sektor tambak udang di Lombok dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian daerah. “Ini adalah langkah penting untuk meningkatkan tata kelola dan tata niaga hasil tambak udang di Lombok,” pungkasnya.

Pemerintah daerah diharapkan dapat segera menindaklanjuti saran ini guna memaksimalkan potensi sektor perikanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Berikutnya, soal pembagian dana CSR sejauh ini dilakukan pengusaha tambak untuk warga sekitar. Antara lain untuk membantu pembangunan fasilitas umum seperti musholla dan lainnya.

Produksi Dua Kali Setahun

Waktu budidaya udang berkaki putih ini rata-rata empat sampai lima bulan. Atau bisa produksi rata-rata dua kali dalam satu tahun.

Dalam melakukan aktivitas budidaya, tantangan terbesar petambak adalah penyakit. Penyakit bini biasanya muncul karena kualitas bibit. Ada juga karena faktor pola budidaya. Mengenai kualitas hasil produksi sejauh ini di perairan Lombok ini dinilai masih cukup bagus. Tinggal perlu dijaga agar kualitas produksi tetap terjaga dengan baik.

Bibit sendiri dibeli di penangkar benih yang banyak di Pulau Lombok. Ada juga dari Pulau Sumbawa. Petambak sejauh ini tidak terlalu kewalahan soal benih karena banyak tempat membeli. Mengenai harganya Rp 50 per ekor. (rus)

IKLAN

spot_img
RELATED ARTICLES
- Advertisment -



VIDEO