DINAS Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Sumbawa, menyebutkan hingga tahun 2025 tercatat ada 186 tambak udang yang memiliki izin usaha, hanya saja jumlah tersebut belum semuanya beroperasi dan berproduksi.
“Jadi, dari 186 tersebut tidak semuanya berproduksi melainkan ada yang beroperasi baru sebatas izin karena masih tahap konstruksi, baru sebatas pembukaan lahan dan pengurusan izin lainnya, ” kata Kepala Dislutkan Sumbawa, Rahmat Hidayat kepada Suara NTB, akhir pekan kemarin.
Dayat pun memastikan terhadap ratusan tambak udang yang beroperasi di wilayah setempat terdata sudah memiliki izin sesuai aturan berlaku. Apalagi luas lahannya rata-rata di bawah 500 hektar dan paling luas sekitar 70 hektare.
“Tambak udang yang ada di Sumbawa belum ada yang lebih dari 500 hektar sehingga untuk izinnya hanya SPPL dan UKL UPL tidak ada izin lingkungan, ” ujarnya.
Berdasarkan PP 51 tahun 2021 tentang perizinan berusaha berbasis resiko untuk tambak skala UMK (usaha mikro kecil) atau kurang dari 10 hektare. Maka Surat Pernyataan kesanggupan pengolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL) akan terbit secara otomatis.
“Kita (Dislutkan) posisinya di ujung. Jadi kalau ada orang yang mau membuka usaha tambak udang koordinasi awalnya di Dinas PU dan Badan Pertanahan (BPN) ketika semua izin sudah lengkap baru ke kami, ” jelasnya.
Dia melanjutkan, Dislutkan pada prinsipnya hanya bisa mengeluarkan rekomendasi teknis saja setelah semua persyaratan perizinannya lengkap. Khusus di Sumbawa, rata-rata tambak udang yang beroperasi sudah mengantongi izin meskipun ada juga yang belum melakukan aktivitas usahanya.
“Jadi, luas lahan potensial untuk tambak udang mencapai 10.375 hektare sementara yang baru tergarap hanya 3. 142 hektare yang berproduksi, ” ucapnya.
Dayat meyakinkan, keberadaan tambak udang di Sumbawa pada prinsipnya sudah memberikan kontribusi ke daerah meski belum maksimal. Berdasarkan UU nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan daerah dengan pemerintah pusat daerah tidak lagi boleh memungut retribusi izin usaha perikanan tambak.
“Bahkan retribusi hasil pengiriman perikanan juga tidak boleh dipungut oleh daerah setelah adanya UU nomor 1 tahun 2022,” ujarnya.
Dia melanjutkan, di sektor perikanan di UU nomor 1 tahun 2022 itu kaitannya dengan retribusi itu hanya berada di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sementara untuk usaha-usaha lain, pihaknya tidak bisa melakukan penarikan retribusi.
“Jadi, pungutan yang bisa dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas perizinan bangunan gedung (PBG) dan itu ada hitung-hitungan nya di Dinas PUPR dan saat ini capainya sudah lebih dari Rp1, 5 miliar, ” ujarnya.
Selain itu ada juga pungutan di Pajak Bumi dan Bangunan (PPB), Pajak Pnerangan Jalan (PPJ) yang ditaksir mencapai ratusan juta per tahun untuk pembayaran jaringan listriknya. Selain itu ada juga pajak Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
“Ada empat komponen tersebut yang menyumbang kontribusi ke daerah kalau dari perikanan sendiri tidak ada karena tidak ada aturan yang memperbolehkan untuk pungutan tersebut, ” tukasnya.
Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) memastikan pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambakan bahkan dalam penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) itu dilakukan secara otomatis.
‘’Kalau NIB itu langsung terbit secara otomatis tidak ada kewenangan kami untuk menerbitkan izin apapun termasuk juga terkait usaha pertambakan,’’ kata Kadis PMPTSP Riki Trisnadi kepada Suara NTB, kemarin.
Dia pun meyakinkan terkait izin apapun khususnya tambak udang, ia tidak pernah menerbitkan izin apapun. Terlebih skala perizinan yang dilakukan selama ini rata-rata kecil hingga menengah.
“Jika mengacu ke data OSS berbasis risiko, sejak tahun 2021- 2025 total NIB berkaitan dengan perikanan yang terdata mencapai 183 badan usaha yang tersebar di seluruh kecamatan, ‘’ pungkasnya. (ils)