SALAH satu potensi perikanan yang dimiliki Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) adalah usaha pertambakan udang. Sayang potensi tersebut tidak memberikan kontribusi maksimal bagi daerah disebabkan regulasi dan kewenangan tata kelolanya tidak berada di tangan pemerintah kabupaten.
Data Dinas Perikanan KSB mencatat, potensi lahan tambak yang dimiliki daerah bermotto Pariri Lema Bariri ini sebanyak 1.095 hektar. Luasan terbanyak berada di Kecamatan Poto Tano mencapai 800 hektar dan sebagian besar telah dikuasai oleh korporasi. Ada yang sudah beroperasi dan ada juga yang baru sekadar mengurus atau mengantongi izin.
Dari luasan lebih dari seribu hektar itu, baru setengahnya yang dikelola. Merunut data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Dinas Perikanan KSB, total ada 15 usaha tambak udang saat ini. Terdiri dari 10 berbentuk korporasi PT maupun CV, sisanya dikelola masyarakat secara perorangan.
Kepala Dinas Perikanan KSB, Noto Karyono menyebut, usaha tambak udang selama ini bak buah simalakama bagi daerah. Pasalnya tata kelolanya secara regulasi hampir tidak ada kewenangan di tingkat pemerintah kabupaten/kota. “Minimal itu diurus provinsi. Tambak besar modalnya langsung ditangani oleh pusat,” katanya.
Tidak adanya aturan yang memberi ruang bagi kabupaten/kota itu, membuat usaha tambak minim kontribusi bagi daerah. Menurut Noto, pemerintah kabupaten tidak dapat mendapat keuntungan dari usaha tambak secara maksimal karena tidak ada aturan yang mendasarinya.
“Mau buat (kebijakan) retribusi kita tidak bisa. Aturannya mana? Pendapatan kita dari tambak udang selama ini yang rutin hanya dari pajak PBB. Lalu ada BPHTB, itu sekali saja, waktu pembebasan lahan. Itu saja,” ungkap Noto.
Di sisi lain yakni terkait pengawasan. Noto menyebut, kabupaten juga tidak dapat melakukan pengawasan secara ketat. Proses perizinan perusahaan tambak selama ini urusannya ada di pemerintah provinsi. “Dan pengusaha tambak itu sangat tertutup. Cerita KPK ke kami, bahkan mereka tidak bisa masuk ke salah satu perusahaan di NTB ini. Nah bagaimana dengan kami yang tidak punya kewenangan,” cetusnya.
Noto menyatakan, sebagai daerah penghasil kabupaten/kota tentu berharap diberi ruang untuk agar keberadaan tambak udang bisa memberikan kontribusi langsung bagi daerah. Termasuk juga melakukan pengawasan melekat terhadap aktivitas perusahaan tambak udang untuk meminimalisir berbagai dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Sederhana saja. Harapan kita (kabupaten) tambak udang itu bisa memberi kita keuntungan. Jangan kemudian kita hanya dapat dampak lingkungannya saja kalau ada masalah pengelolaannya,” pungkasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ujarnya, baru-baru ini melakukan supervisi terkait pengelolaan izin tambak udang di NTB. Dalam supervisinya itu, KPK pun turut memberi sejumlah catatan yang harus dilengkapi oleh pengusaha tambak udang yang ada di KSB. “Semua perusahaan yang ada mendapat catatan KPK. Dan itu harus mereka lengkapi dalam 6 bulan ke depan,” ungkapnya.
Setidaknya ada 3 hal yang harus dilengkapi perusahaan tambak di KSB berdasarkan supervisi KPK. Pertama kelaikan fasilitas Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), kedua izin Pemanfaatan Air Laut Selain Energi (ALSE) dan ketiga Surat Laik Operasi (SLO).
Noto menjelaskan, seluruh perusahaan tambak yang ada di KSB saat ini tengah berupaya melengkapi seluruh perizinan tersebut. “Kami hanya bisa memantau dan harapannya mereka bisa penuhi sesuai tenggat waktu yang diberikan KPK,” ujarnya.
Sementara itu mengutip data Dinas Perikanan KSB, sejumlah perusahaan tambak udang pada tahun 2024 lalu dinyatakan tidak patuh. Mereka diketahui tidak menyampaikan laporan UKL/UPL atau SPPL yang seharusnya disampaikan 2 kali setahun (tiap semester). “Hanya ada 3 yang diberi catatan taat. Itu pun hanya melaporkan semester pertama saja. Maka itu harapan kami ke depan, mereka harus rutin melaporkan,” imbuh Noto.(bug)