KISAH inspiratif datang dari NTB. Qashiratut Tharfi Pranata, seorang anak berusia tujuh tahun asal Lombok, ini telah berkali-kali mengibarkan bendera Indonesia di panggung olimpiade matematika internasional. Atut, sapaan Qashiratut Tharfi Pranata berhasil menyabet medali emas di bidang matematika pada ajang Future Inteligence Student Olimpiad (FISO) 2025. Ia juga meraih emas pada Final Big Bay Bei secara daring pada 1 Maret dan 15 Maret lalu.
Tak hanya itu, Atut telah mengoleksi berbagai macam medali dari beragam jenis olimpiade matematika yang telah diikuti. Di antaranya enam medali emas, dua medali perak, empat medali perunggu.
Atut merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, buah hati pasangan Ade Pranata dan Evi Diansari. Berbeda dengan kakak dan adiknya, Atut telah memperlihatkan kelebihan yang tak dimiliki oleh kedua saudarinya.
Menurut Evi, Atut memiliki semangat kompetisi dan kemauan yang kuat. Atut juga selalu ingin menjadi yang terdepan dan akan merasa sedih bila ia tertinggal oleh saudarinya yang lain.
Pada saat Atut berusia satu tahun, Evi mulai menstimulasi Atut dengan permainan-permainan yang mengasah otak. Saat itu, Atut sudah mampu mengelompokkan mainan berdasarkan warna dan ukuran.
“Sebetulnya memang potensinya terlihat dari waktu dia kecil. Cuman saya tidak pernah kepikiran mengarahkan dia ikut lomba. Cuman secara personal potensinya terlihat waktu kecil,” terang Evi kepada Suara NTB, Sabtu 12 April 2025.
Sempat Mengenyam Pendidikan di Hungaria
Ketika Ade, ayah Atut menempuh pendidikan doctoral+ di Hungaria, Atut serta sekeluarga tinggal di sana. Pada saat itu, Atut berkesempatan merasakan pendidikan nonformal di tanah Bangsa Magyar tersebut.
“Kami sempat tinggal di Hungaria tahun 2021. Nah, kan kakaknya SD di sana, dia sempat playgroup di Hungaria,” ujar Evi.
Pada saat umurnya menginjak lima tahun, Atut belum bisa membaca. Bila beberapa anak lain membaca karena permintaan orang tua atau orang lain, keinginan Atut untuk belajar membaca justru timbul karena ingin memahami perintah permainan atau game yang sedang dimainkannya.
Sebelumnya, Atut mengoperasikan gawai hanya menggunakan fitur pencarian lewat suara. Namun, setelah melihat kakaknya bermain game yang membutuhkan kemampuan membaca, ia akhirnya meminta ibunya untuk mengajarkannya membaca.
Ikut Olimpiade Sejak TK
Setelah melihat potensi Atut, Evi mencoba mengikutkan Atut ke olimpiade pada level-level nasional. Meski demikian, Atut tak langsung mendapatkan juara. Pada masa awal-awal mengikuti lomba matematika, ia hanya berakhir sebagai peserta unggulan. Bahkan ia pernah tidak masuk dalam urutan juara. “Justru ketika dia tidak menang itu, ingin terus mengikuti lomba,” ujar Evi.
Setelah menelan kegagalan di olimpiade tingkat nasional, Evi mencoba peruntungan di olimpiade level internasional. Pada Maret 2024, Evi mendaftarkan Atut di Hong Kong International Olympiad (HKIMO). Pada babak penyisihan yang diikuti oleh peserta seluruh Indonesia, Atut mendapatkan medali perunggu.
Setelah babak penyisihan, Atut dipastikan lolos ke babak final HKIMO yang diselenggarakan di Hong Kong pada Agustus 2024. Pada gelaran final tersebut, Atut berhasil mengantongi medali perak.
Sejak saat itu, Atut terus mengikuti olimpiade tingkat internasional. Setelah itu dia ikut International Mathematic Olympiad (IMO), kemudian FISO, International Mathematic Exam Center Olympiad (IMEC), Asian Science and Maths Olympiad (ASMO).
Kemudian ada juga Thailand International Mathematic Olympiad (TIMO), Big Bang Competition (BBC), Philippine International Mathematic and Science Olympics (PIMSO), International Mathematic Olympiad Competition of Southeast Asia (IMOCSEA).
Dari beragam jenis olimpiade yang diikutinya, Atut tak pernah pulang dengan tangan kosong dan selalu membuat harum nama Indonesia, NTB, dan Lombok tempat asalnya. “Untuk penyisihan kompetisi (Spirit of Math Contest dan Mathematic Without Borders 2025) di Bulgaria dan Kanada sedang menunggu pengumuman hasilnya,” kata Evi.
Meski sering mengikuti berbagai kompetisi, Atut tak pernah bolos dari pelajaran sekolah. Evi dan suami mampu mengatur waktu untuk kompetisi dan belajar di sekolah.
“Kadang saya minta permakluman ke wali kelas. Misalnya kayak kemarin, Atut baru pulang dari Thailand lalu tiga hari kemudian harus mengikuti final. Dia tetap masuk sekolah. Alhamdulillah, hasil rapornya rata-rata di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM),” jelasnya.
Keterbatasan Anggaran
Evi mengungkapkan, ada beberapa kompetisi yang ia lewati karena keterbatasan anggaran. Selama ini, ia dan suami yang membiayai semua keperluan Atut untuk mengikuti olimpiade ke berbagai negara.
“Seharusnya kemarin tanggal 4 (April) 2025 itu finalnya, tapi tidak berangkat. Satu karena Lebaran, kedua karena budget (anggaran) juga. Kami murni biaya sendiri dari penyisihan sampai final itu,” ujarnya.
Selain itu, pada Juni mendatang, Atut direncanakan akan mengikuti kompetisi matematika lanjutan (FISO) di Dubai. Namun, Evi dan suami masih mempertimbangkan keberangkatan Atut yang juga disebabkan oleh biaya ke sana yang cukup besar. Sebelumnya, Atut berhasil menyabet emas di babak penyisihan dan tahap internasional yang diselenggarakan secara daring juga mendapat medali emas.
“Pendaftaran dan akomodasi sekitar Rp46 juta, belum termasuk tiket, visa yang totalnya Rp50 juta sekali berangkat,” terangnya.
Evi mendukung apa pun yang disukai anaknya, asal hal tersebut bernilai positif. Bahkan untuk olimpiade, dirinya terlebih dahulu menanyakan kepada Atut terkait kesanggupannya mengikuti kompetisi.
“Kalau sudah ada persetujuan dari dia, saya daftarkan. Tapi sebelum saya dafttarkan saya buat komitmen dulu sama dia. Kalau kamu mau didaftarkan, berarti konsekuensinya kamu harus belajar kalau sudah terjadi kesepakatan itu, baru saya daftarkan untuk olimpiadenya,” terangnya.
Anak Jenius
Ade, ayah Atut, pernah mencoba membawa Atut untuk melakukan tes Intelligence Quotient (IQ). Berbeda dengan saudaranya yang hanya memiliki IQ di angka 126, IQ Atut, berada di angka 150 yang mengindikasikan Atut memiliki kecerdasan rata-rata di usianya. Menyadari hal tersebut, Ade lantas tak menyia-nyiakan kelebihan yang dimiliki anaknya.
Ade menceritakan, dirinya pernah memberi tes dengan meminta Atut menyelesaikan 30 soal matematika dalam Bahasa Inggris. Hasilnya, Atut dapat menjawab puluhan soal tersebut dengan jawaban sempurna. Menurut pengakuan Ade, ia dan Evi tak pernah memberi kursus bahasa Inggris kepada Atut. Atut hanya belajar dasar bahasa Inggris di sekolahnya, SDIT Fauziah Yarsi Mataram.
“IQ dia itu di rank jenius. Saya pikir, mudah-mudahan skor itu terus bertahan. Syarat untuk bertahan itu kan praktik atau latihan terus, sehingga itu juga terlihat di beberapa kali latihan,” kata dia.
Atut memiliki kebiasaan yang terbilang unik. Atut akan mampu menyelesaikan soal matematika dengan sempurna ketika ia duduk di bangku paling depan.
“Cuman, waktu MOK semacam uji coba tes, dia duduk paling depan dan dia suka duduk paling depan. Ketika ujian nomor urutnya bangku paling belakang, mentalnya langsung down (jatuh). Kalau duduk di depan sapu bersih soal itu,” tutur Ade.
Senang Jalan-jalan
Sedari kecil Atut sudah menyukai matematika. Dengan dorongan dan dukungan dari orang tua, Atut akhirnya mendapat capaian yang luar biasa bagi anak seusianya. “Suka aja (matematika),” katanya.
Sementara itu, Atut punya alasan suka mengikuti olimpiade, terutama di luar negeri. “Soalnya seru (bisa jalan-jalan),” ujar Atut.
Atut sempat berkeinginan menjadi petugas Pemadam Kebakaran (Damkar). Namun, cita-citanya berubah ingin menjadi pengangkut sampah. Keinginan itu timbul ketika ia kagum dengan petugas kebersihan di Hungaria yang dia anggap keren. “Sekarang belum tahu (mau jadi apa),” jawabnya malu-malu.
Kedua orangtuanya berharap, Atut tetap sehat dan bahagia dengan apa yang dijalaninya saat ini. Mereka juga berharap Atut dapat lebih fokus lagi dengan kompetisi-kompetisi yang akan dihadapi ke depan.
“Sebentar lagi dia akan naik ke kelas dua, itu soalnya juga akan jauh lebih sulit. Kami berharap Atut tetap semangat dan dia bisa jauh lebih fokus lagi,” harap kedua orang tua Atut. (sib)