Giri Menang (Suara NTB) – Antrean truk tronton pengangkut sapi asal Bima di pelabuhan Gilimas Lembar Lombok Barat telah mulai terurai. Minggu, 27 April 2025 ada sekitar 20 truk yang ada di parkiran pelabuan, namun sore harinya sebagian truk telah diangkut. Satu sisi persoalan antrean truk bisa teratasi, akan tetapi muncul persoalan lain.
Para peternak mengeluhkan pungutan biaya tambahan sebesar Rp100 itu per orang. Mereka juga meminta agar perusahaan ekspedisi yang telah dibayar peternak jangan lepas tangan atas hal ini. Pantauan media, tampak lahan parkir di Pelabuhan Gilimas ada sebagian kosong. Antrean truk pengangkut ternak sedikit lengang. Hanya tersisa empat baris kendaraan yang parkir di bagian kanan. Masing-masing baris kurang lebih ada lima kendaraan.
Lahan parkir lebih banyak dipenuhi truk pengangkut jagung yang hendak dikirim keluar daerah. Iwan Saputra, salah seorang peternak Bima yang ditemui di lokasi mengeluhkan penambahan biaya tiket untuk biaya makan. “Kami keluhkan penambahan biaya tiket Rp100 ribu per orang,”katanya. Padahal setahu dia, bahwa ia telah membayar biaya angkutan dari Bima ke Jakarta dan biaya lainnya sebesar Rp1.500.000 per ekor. Ia sendiri membawa 12 ekor, sehingga mau tidak mau ia terpaksa harus membayar biaya tambahan itu mencapai 1.200.000.
Dan soal tambahan biaya ini belum pernah disosialisasikan atau diberitahukan ke peternak di Bima. Sehingga ia dan peternak pun kaget ketika dimintai tambahan biaya tersebut. Tambahan biaya ini sangat memberatkan peternak, karena harus menambah biaya. Belum lagi biaya makan sehari-hari dan biaya ternak selama di jalan. Ia juga harus mengeluarkan biaya sewa kandang selama di luar daerah mencapai jutaan rupiah.
Belum lagi lanjut dia, di perjalanan dari Bima ke Lombok dipungut biaya “palang” ketika melewati suatu daerah. Di Dompu, dipungut biaya palang lima kali, kemudian di Sumbawa tiga kali. Pemungutan ini jelasnya ada yang resmi menggunakan dokumen, sedangkan selebihnya lebih banyak pungutan tanpa kejelasan. “Itu uang palang, uang stempel katanya, uang tandatangan,”imbuhnya. Padahal lanjut dia, ia dan peternak lain belum tentu laku semua ternaknya ketika di luar daerah. Ia beradu nasib ke Jakarta menjual ternaknya.
“Syukur- syukur laku semua,tapi kebanyakan lelang kita, kalau tidak laku,”imbuhnya. Harga jual sapi di bawah Rp10 juta per ekor. Padahal di sana seharusnya dijual di kisaran hingga Rp20 juta hingga Rp30 juta per ekor. Belum lagi dampak terlalu lama perjalanan, banyak ternak yang mati dan sakit sehingga kalau yang sakit dijual harga jualnya turun. Atas persoalan pengiriman ternak ini, ia juga berharap agar pihak perusahaan ekspedisi jangan sampai melepas begitu saja peternak selama di perjalanan. “Kami minta agar dikawal mulai dari bima sampai ke luar daerah, jangan biarkan kami telantar,”katanya.
Petugas Darat salah satu perusahaan, Kabul mengatakan penyeberangan pengangkutan ternak dari Bima dilayani dari ALP dan Kapal Ferry PT ASDP.
Untuk penyeberangan ferry yang melayani rute Lembar- Jangkar hanya satu yang jalan, yakni Kapal Trimas Laela. Selama pelayanan bagi peternak, pihaknya tidak meminta dana tambahan ke peternak.
“Kalau dari Jangkar tidak diminati, tapi tidak dikasih makan dia,”kata dia. Yang dibebani biaya adalah penumpang, kalau lebih dari dua orang di dalam kendaraan. Sebab harus menggunakan tiket naik kapal. “Tidak boleh lebih dari dua, dihitung penumpang jadinya, itu yang dibebani biaya,”imbuhnya.(her)