Mataram (Suara NTB) – Hadirnya tren kopi keliling bermotor atau yang akrab disebut “kopling” kini kian menjamur di setiap sudut Kota Mataram. Mulai dari taman kota, area kampus, hingga trotoar jalan protokol, keberadaan mereka dinilai mengganggu ketertiban dan membahayakan keselamatan lalu lintas.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI) wilayah Kota Mataram, Syahidin, menyampaikan keprihatinannya terhadap keberadaan penjual kopi keliling ini. Ia menilai mereka termasuk dalam kategori PKL liar karena cenderung berjualan di lokasi-lokasi yang tidak semestinya, seperti di bahu jalan dan badan jalan.
“Dulu cuma beberapa yang jualan kopi keliling, sekarang sudah menjamur. Mereka seenaknya berjualan di trotoar, badan jalan, bahkan di palang jalan. Ini tidak bisa kita biarkan,” ungkapnya, Jumat (16/5).
Syahidin menyebutkan bahwa titik-titik yang paling banyak ditemukan aktivitas para penjual kopling ini di antaranya adalah sepanjang Jalan Majapahit, khususnya di area depan Taman Budaya dan di depan Kampus UIN Mataram.
“Yang di lapangan ini cuma karyawan, yang atur semua itu pengusahanya dari balik layar. Mereka pakai sepeda listrik sekarang, bukan sepeda pancal seperti dulu. Ini bukan lagi PKL kecil, tapi sudah masuk level menengah ke atas,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjutnya, harus menjadi perhatian serius karena para pengusaha di balik layar tidak pernah tampil ke depan, sementara yang menanggung dampak langsung justru para karyawan kecil yang berjualan di lapangan.
Selain kopling, Syahidin juga menyebut adanya PKL liar lain yang melanggar aturan, khususnya yang berjualan di sisi utara Tembolak.
“Kemarin Plt Cama Sekarbela dan Lurah Jempong Baru menyampaikan kembali kebijakan yang telah disepakati waktu itu di Kantor Camat. Mereka boleh berjualan mulai jam 11 sampai selesai, sampai malam kan begitu, terus malam Jumatnya libur, tapi pedagang-pedagang ini ada yang bandel, mereka itu banyak yang keluar di bawah jam 11 siang,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa jumlah PKL yang tergabung dalam APKLI di sebelah utara Tembolak mencapai sekitar kurang lebih 100 orang. Meski pihaknya telah berupaya melakukan pembinaan, tingkat kepatuhan mereka masih rendah, bahkan ada yang menolak diatur dengan berbagai alasan.
“Yang terdaftar sebagai anggota APKLI di Bypass itu kurang lebih sekitar 100 PKL. PKL yang tergabung dalam APKLI biasanya mulai terlihat dari wilayah Gerbang Tembolak, yang selatan Tembolak itu sudah masuk ke dalam wilayah Lombok Barat, di luar koordinasi langsung APKLI,” tuturnya.
Menurut Syahidin, APKLI sendiri telah memberikan pembinaan melalui grup WhatsApp, berupa imbauan agar seluruh anggota mematuhi aturan yang telah disepakati. “Hal ini sudah saya sampaikan secara jelas. Namun, sebagian dari mereka tetap beralasan dengan berbagai macam dalih,” ujarnya.
Oleh karena itu, Syahidin mendorong pemerintah kota dan Satpol PP untuk turun tangan secara tegas. “Kami mendorong agar pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap praktik semacam ini, agar tidak terjadi pembiaran yang merugikan banyak pihak, terutama warga sekitar dan PKL yang tertib serta taat aturan,” tegasnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya mengaktifkan kembali Peraturan Daerah (Perda) tentang PKL yang sudah ada sejak tahun 2015. Menurutnya, legalitas berupa tanda daftar sangat dibutuhkan oleh para PKL untuk memberikan kepastian hukum dan menjadi dasar bagi pemerintah dalam melakukan penataan.
“Kita terus dorong pemerintah supaya aktifkan lagi Perda PKL itu. Biar jelas siapa yang legal, siapa yang liar. PKL resmi butuh kepastian, jangan dibiarkan yang tidak tertib malah bebas berjualan,” tutupnya. (hir)