Mataram (Suara NTB) – Di balik kemudahan layanan transportasi daring yang dinikmati masyarakat, tersimpan realitas pahit yang dialami ribuan pengemudi ojek online (ojol) di Kota Mataram. Persaingan ketat, sistem bagi hasil yang tidak adil, serta tekanan ekonomi menjadi tantangan utama para pengemudi dalam menjalankan profesinya.
Pada Selasa, 20 Mei 2025, Suara NTB mencoba memesan layanan ojek daring dari salah satu aplikator terbesar. Respons cepat dari aplikasi mengantarkan seorang pengemudi yang kemudian menceritakan kondisi sebenarnya di lapangan.
Menurut pengemudi tersebut, saat ini terdapat lebih dari 6.000 ojol yang beroperasi di Mataram. “Kalau sehari hanya ada seribu pelanggan, itu dibagi untuk ribuan pengemudi. Dulu saya bisa dapat 30 orderan sehari, sekarang sepuluh pun sulit,” ungkapnya.
Pendapatan para pengemudi mengalami penurunan tajam. Jika sebelum pandemi Covid-19 seorang pengemudi bisa meraup hingga Rp4 juta per bulan, kini hanya sekitar Rp600 ribu. Pendapatan harian turun dari sekitar Rp300 ribu menjadi Rp40 ribu.
“Dulu saya bisa mencicil rumah subsidi dengan pendapatan ojol. Sekarang, bahkan untuk membayar cicilan saja tidak cukup,” katanya. Istrinya pun kini terpaksa bekerja sebagai asisten rumah tangga untuk membantu ekonomi keluarga.
Salah satu keluhan utama adalah sistem bagi hasil yang dinilai merugikan pengemudi. “Kalau tarif aplikasi Rp22 ribu, kami hanya terima Rp7.800. Potongan terlalu besar,” keluhnya. Ia juga menyebut minimnya transparansi dari perusahaan aplikasi soal pembagian pendapatan.
Ironisnya, di tengah keluhan para pengemudi, perusahaan terus membuka pendaftaran pengemudi baru pasca-pandemi. Biaya pendaftaran yang dikenakan pun cukup tinggi, berkisar Rp700 ribu hingga Rp1,1 juta. “Orang rela bayar mahal hanya untuk bisa jadi ojol. Padahal sekarang orderan makin sulit,” tambahnya.
Selain tekanan ekonomi, pengemudi juga menghadapi tekanan dari pihak aplikator. Mereka mengaku takut menyuarakan protes atau ikut aksi demonstrasi karena khawatir akun mereka disanksi. “Kalau protes, bisa tidak dikasih orderan. Sementara cari kerja lain di Mataram susah,” ujarnya.
Kondisi ini menyoroti lemahnya posisi tawar para pengemudi di hadapan perusahaan aplikasi. Di sisi lain, regulasi dari pemerintah belum mampu memberi perlindungan yang cukup bagi para pekerja informal ini.
Para pengemudi berharap pemerintah daerah dan pusat segera hadir dengan kebijakan yang lebih berpihak, termasuk pengaturan jumlah pengemudi, transparansi sistem bagi hasil, dan perlindungan hukum bagi pekerja platform.
Tanpa intervensi konkret, harapan pengemudi ojol untuk mendapatkan penghidupan layak akan terus menjadi angan di tengah geliat ekonomi digital. (bul)