Mataram (Suara NTB) – Kasus perkawinan anak usia dini yang terjadi di Lombok Tengah dan baru-baru ini viral di media mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Menyikapi hal tersebut, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB mendorong pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah strategis, baik dalam mencegah terulangnya kasus serupa maupun dalam menangani dampak pascakejadian.
Sekretaris LPA NTB, Sukran, menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah, karena menunjukkan bahwa regulasi yang telah disusun, meskipun lengkap dari tingkat provinsi hingga desa, belum sepenuhnya teraplikasi dan tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
“Dalam kasus ini, LPA NTB mengambil peran preventif dan penanganan paska perkawinan. Anak itu merupakan korban karena mereka putus sekolah. UPTD PPA Lombok Tengah pun harus memfasilitasi anak tersebut agar tetap mendapatkan hak-haknya. Kasus ini sangat kontradiktif dengan arah kebijakan yang ada, sehingga kami memandang perlu adanya langkah strategis dan serius dari pemerintah daerah untuk mempercepat implementasi regulasi yang sudah ada,” terang Sukran saat ditemui di Kantor LPA NTB, Senin, 26 Mei 2025.
Ia menjelaskan saat ini sudah ada Peraturan Daerah NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Bupati Lombok Tengah No. 115 Tahun 2021 yang memiliki substansi serupa. Namun, menurutnya, belum maksimalnya sosialisasi membuat implementasi kebijakan tersebut terasa lamban dan belum menjangkau masyarakat secara luas.
Sebagai tindak lanjut awal, LPA NTB telah menjalin koordinasi dengan sejumlah pejabat di Lombok Tengah, termasuk Dinas DP3AP2KB dan UPTD PPA. Pemerintah kabupaten disebut merasa prihatin dan menjadikan kejadian ini sebagai bahan refleksi penting.
“Rencananya, LPA NTB bersama Pemkab Lombok Tengah akan menggelar rapat koordinasi lintas sektor yang akan melibatkan seluruh camat, kepala desa, dan tokoh masyarakat di wilayah terdampak, khususnya di Kecamatan Praya Timur. Kita akan dorong lahirnya komitmen bersama. Apakah nantinya akan dibentuk Satgas Pencegahan Perkawinan Anak atau bentuk kebijakan lain, itu akan kita bahas bersama seluruh stakeholder,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa anak-anak yang menikah pada usia dini adalah korban dan membutuhkan pendampingan, bukan penghakiman. Mereka kerap kali mengalami putus sekolah, tekanan psikologis, bahkan berisiko mengalami gangguan mental. Dalam konteks ini, UPTD PPA Lombok Tengah diharapkan lebih aktif dalam menyediakan layanan lanjutan, seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga pelatihan pengasuhan anak.
Di sisi lain, Advokat dan Tim Hukum LPA NTB, Giras Genta Tiwikrama, mengungkapkan bahwa respons masyarakat terhadap kasus ini masih terbelah. Sebagian mendukung, sebagian lagi menolak, yang menunjukkan belum seragamnya pemahaman hukum di tengah masyarakat.
Menurut Giras, lemahnya sosialisasi menjadi salah satu faktor utama. Ia menilai pendekatan yang selama ini dilakukan pemerintah masih menyasar kelompok terbatas, seperti aparat dusun, tanpa menjangkau masyarakat akar rumput secara lebih luas. Bahkan dalam kasus ini, aparat desa sebenarnya sudah berupaya mencegah, namun tidak mampu membendung karena keterbatasan dukungan kebijakan yang praktis di lapangan.
Giras juga menyoroti praktik pernikahan siri yang marak terjadi dalam kasus-kasus semacam ini. Ia menilai pernikahan seperti ini tidak hanya merugikan pasangan usia dini, tetapi juga berdampak buruk bagi anak yang lahir dari pernikahan tersebut, baik secara administratif maupun sosial.
“Dampaknya jelas. Mereka tidak bisa buat KK sendiri karena masih di bawah umur, anak yang lahir sulit dapat akta kelahiran, dan ini semua berimbas pada sulitnya akses bantuan sosial karena masih tergabung dalam KK orang tua,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa peristiwa ini harus menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah untuk mengevaluasi metode komunikasi publik dan penyampaian regulasi kepada masyarakat.
“Harus ada inovasi komunikasi publik. Jangan hanya menyentuh komunitas terbatas, tapi menjangkau masyarakat dengan pendekatan yang kontekstual dan membumi,” katanya.
Baik LPA NTB maupun tim hukumnya sepakat bahwa kasus ini tidak boleh ditangani secara reaktif. Perlu ada perubahan pendekatan yang menyeluruh, memperkuat upaya preventif, dan membangun sistem perlindungan anak yang lebih kokoh dari hulu ke hilir. (hir)