Mataram (Suara NTB) – Pemukiman warga di Lingkungan Pondok Perasi, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram akhirnya dieksekusi. Eksekusi lahan ini berdasarkan putusan pengadilan yang memenangkan Hj. Ratna Sari Dewi selaku penggugat. Masyarakat yang terdampak meminta disediakan hunian layak dan gratis.
Pantauan Suara NTB, proses eksekusi berlangsung sekitar pukul 10.30 Wita. Sejumlah petugas keamanan dari Kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja dan jajaran dari Pemerintah Kota Mataram melakukan pengamanan di lokasi tempat penggusuran. Saat penggusuran berlangsung suasana sempat memanas antara pihak keamanan dan pemilik rumah. Warga berusaha mempertahankan rumah yang mereka tempati puluhan tahun lalu.
Kondisi ini tidak berlangsung lama karena petugas berhasil meredam amarah warga.
Salah seorang pemilik rumah, Udin menyampaikan, rencana eksekusi lahan sebelumnya, ia langsung memilih pindah ke rumah susun sederhana sewa di Lingkungan Bintaro Jaya yang dibangun Pemerintah Kota Mataram.
Akan tetapi, ia kembali ke rumah sebelumnya lantaran rusunawa yang ditempati harus disewa dengan biaya Rp350 ribu per bulan. “Awalnya kita dikasih gratis selama dua bulan setelah itu kami disuruh nyewa. Makanya kami tidak mau terus kembali lagi ke sini,” jelasnya saat ditemui pada Rabu, (28/5/2025).
Ia mendapatkan penghasilan tidak menentu dari pekerjaannya sebagai nelayan. Untuk membayar sewa rusunawa, ia tidak mampu. Selain itu, ia menilai jarak rusunawa cukup jauh dengan tempatnya bekerja. “Sedangkan untuk makan saja kami kesulitan apalagi membayar rumah dengan harga segitu,” sebutnya.
Ia menuturkan, lahan ini sejak lama ditempati sebelum dimiliki oleh Ibu Ratna Sari Dewi. Namun tanah ini sudah menjadi hak milik tanpa diketahui oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, sampai hari ini ia merasa sangat kecewa dengan penggusuran tersebut.
Sama seperti Udin, Nisa mengaku, tidak mengetahui bahwa penggusuran hunian miliknya. Pasalnya, kelurahan dan kepala lingkungan juga tidak menginformasi dan memberi imbauan sebelumnya. “Kita tidak tau kalau ada penggusuran. Tiba-tiba, tanpa ada informasi,” klaimnya.
Menurutnya, lahan ini tidak boleh dikuasai oleh pribadi, karena tanah ini berada di kawasan pesisir pantai. Oleh sebab itu, ia tetap mempertahankan diri untuk tinggal dengan keluarganya di lokasi tersebut. “Ini sepadan pinggir pantai, 100 meter dari pinggir pantai tidak boleh jual belikan seperti itu,” ucap Nisa.
Udin dan Nisa berharap, pemerintah menindaklanjuti kondisi yang dialami masyarakat. Saat ini, mereka sudah tidak memiliki tempat tinggal.
Dikonfirmasi terpisah, Camat Ampenan, Muzakkir Walad menjelaskan, lahan ini sebenarnya sudah lama akan dieksekusi oleh pemiliknya. Namun, proses negosiasi dilakukan sehingga dilakukan penundaan. “Sebenarnya mereka sudah paham, cuma ada oknum yang mencoba mencuci otak mereka seolah-olah tanah ini dikuasai oleh mereka,” ungkapnya.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 1638.K/Pdt/2010. Berita Acara Eksekusi Tanggal 6 Januari 2020. Dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor. 1507 dan SHM Nomor. 1508. MA memutuskan lahan itu milik Hj. Ratna Sari Dewi selaku pemohon.
Ia memastikan, Pemerintah Kota Mataram akan hadir untuk masyarakat, terutama warga yang rumahnya digusur. Pemerintah akan menyediakan hunian sementara (huntara). Dengan demikian, setelah pengosongan lahan ini selesai, pihaknya akan melakukan pendataan kepada masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal. “Sembari kita menunggu huntara di Pondok Pelangi yang sedang dibangun kita juga siapkan tenda sementara di Kebon Talok lengkap dengan fasilitas. Itu rencana pak Wali Kota,” jelasnya.
Ia mencatat, berdasarkan asesmen sementara dari kelurahan masyarakat yang tinggal di lahan yang dikosongkan ini sebanyak 15 KK. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Dari data tersebut akan disesuaikan dengan jumlah huntara. (pan)