spot_img
Jumat, Juni 20, 2025
spot_img
BerandaNTBPernikahan Dini di NTB: Saatnya Ubah Cara Pandang, Tegakkan Hukum

Pernikahan Dini di NTB: Saatnya Ubah Cara Pandang, Tegakkan Hukum

Mataram (Suara NTB) – Budaya pernikahan anak usia dini yang masih dianggap lazim oleh sebagian masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Pulau Lombok, mendapat sorotan dari kalangan akademisi.

Salah seorang Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Ruli Ardiansyah, menilai bahwa persepsi yang keliru terhadap makna pernikahan dalam budaya setempat menjadi salah satu faktor utama tingginya angka pernikahan anak di wilayah ini.

“Budaya pernikahan memang bukan hal yang salah. Tapi persepsi terhadap hal itu yang seringkali keliru. Merariq (menikah) sebenarnya itu ditujukan untuk orang-orang yang telah cukup umur dan memenuhi syarat, bukan untuk anak-anak,” ujarnya kepada Suara NTB, awal pekan lalu, Senin (26/5/2025).

Menurut Ruli, praktik pernikahan anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari berbagai persoalan struktural, seperti kemiskinan, lemahnya tanggung jawab orang tua, hingga minimnya pemahaman masyarakat terhadap aspek hukum dan kesiapan berkeluarga. Tetapi yang paling mengkhawatirkan, lanjutnya, adalah bagaimana masyarakat masih menganggap pernikahan dini sebagai hal yang wajar.

Merujuk data BPS dari tahun 2021 hingga 2024, NTB konsisten mencatat angka perkawinan usia anak tertinggi secara nasional. Persentase perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun sempat mencapai puncaknya di angka 17,32 persen pada 2023, kemudian menurun menjadi 14,96 persen pada 2024.

Menurut hasil Susenas 2024, dari total 618 ribu kasus pernikahan usia anak di Indonesia, sekitar 14,96 persen atau sekitar 92 ribu kasus terjadi di NTB.

UNICEF mencatat sepanjang 2024 terdapat sekitar 6.200 kasus pernikahan anak di NTB, yang berarti sekitar 15 persen dari total kasus yang tercatat di seluruh Indonesia.

Lebih memprihatinkan, sekitar 75 persen dari kasus pernikahan anak di NTB tidak tercatat secara resmi karena banyak yang terjadi melalui pernikahan siri tanpa pengesahan di pengadilan agama.

Karena itu, Ruli menekankan pentingnya upaya kolektif untuk meluruskan pandangan tersebut dari semua lini. Mulai dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat, organisasi non-pemerintah (NGO), hingga masyarakat secara luas harus bergandengan tangan dalam membangun kesadaran baru.

“Pemerintah daerah harus aktif melakukan sosialisasi, dan jangan ragu untuk menegakkan hukum. Kita sudah punya undang-undang dan peraturan daerah yang mengatur soal batas usia pernikahan. Kalau tidak ada unsur kekerasan seksual pun, pernikahan usia dini tetap perlu ditindak jika melanggar hukum,” tegasnya.

Ruli menyoroti lemahnya implementasi hukum selama ini yang membuat masyarakat ragu untuk melapor. Selain penegakan hukum, upaya mendidik atau memberikan pemahaman yang dimaksud bukan hanya soal tingkat atau jenjang pendidikan, tetapi soal pengetahuan.

“Bahkan kalau hanya tamat SD pun, tapi kalau diberikan pemahaman yang benar, seseorang bisa tahu bahwa menikah itu butuh kesiapan mental, fisik, finansial, dan tanggung jawab,” jelasnya.

Ia menutup pernyataannya dengan harapan bahwa perubahan pola pikir masyarakat bisa terwujud jika dilakukan secara konsisten dan kolaboratif. “Mengubah budaya memang tidak mudah, tapi kalau dilakukan bersama-sama dan dari berbagai arah, persepsi keliru ini bisa diluruskan,” tutupnya. (hir)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -










VIDEO