spot_img
Selasa, Juli 8, 2025
spot_img
BerandaNTBKOTA MATARAMRTH Belum Ideal

RTH Belum Ideal

FINALISASI Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Mataram kembali memunculkan beragam isu strategis, mulai dari upaya perluasan wilayah hingga kebutuhan mendesak akan ruang terbuka hijau (RTH). Dalam rapat pleno yang digelar di DPRD Kota Mataram, sejumlah anggota legislatif menyoroti urgensi pengelolaan tata ruang yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Anggota Fraksi Partai Demokrat, IGB Hari Sudana Putra, SE., menegaskan bahwa penyusunan RTRW harus berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ia menyoroti pentingnya mengelola ruang terbuka hijau secara serius mengingat keterbatasan lahan yang dimiliki Kota Mataram saat ini.

“Kita harus ingat bahwa RTH minimal 30 persen dari total luas wilayah harus tersedia. Ini adalah rekomendasi langsung dari KPK dan merupakan bagian dari pengawasan mereka terhadap tata ruang kota,” ujarnya.

Menurut Gus Arik, sapaan akrabnya, saat ini luas RTH di Kota Mataram masih jauh dari angka ideal tersebut. Karena itu, ia mendorong adanya kebijakan yang bersifat memaksa, terutama bagi pemilik gedung-gedung tinggi, untuk mengalokasikan lahan atau bagian bangunan mereka sebagai ruang hijau. Ia mencontohkan bagaimana kota-kota besar di luar daerah telah menerapkan konsep green building dengan menanam pohon di rooftop gedung.

“Di Mataram, rooftop gedung-gedung banyak yang kering dan gersang, bahkan hanya ditutup paranet atau dipasang tanaman sintetis. Harusnya ada penghijauan nyata yang diwajibkan,” katanya.

Selain itu, isu perluasan wilayah juga mencuat dalam rapat tersebut. Ia mengusulkan agar RTRW Kota Mataram ke depan mampu mengakomodasi potensi penggabungan wilayah dari daerah-daerah penyangga seperti Narmada, Lingsar, Gunung Sari, hingga Batu Layar. Hal ini dinilai penting untuk menjawab kebutuhan ruang akibat keterbatasan lahan kota.

“Beberapa wilayah tersebut bahkan pernah menyatakan keinginan bergabung dengan Kota Mataram. Ini harus dipertimbangkan dalam RTRW sebagai upaya ekspansi wilayah secara legal dan terstruktur,” ujar anggota Komisi II ini.

Ia juga mengingatkan bahwa Kota Mataram sebelumnya telah kehilangan beberapa aset strategis seperti pelabuhan dan bandara yang kini berada di luar wilayah administrasi. Jika tidak segera dilakukan langkah konkret, ia khawatir Ibu Kota Provinsi NTB suatu saat bisa saja berpindah.

Kritik juga disampaikan terkait maraknya pembangunan liar di ruang-ruang publik yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai RTH. Ia mencontohkan fenomena pembangunan lapak dan kios permanen di area kelebihan tanah (tak-takan) di kawasan Cakranegara yang semula merupakan ruang terbuka.

“Contohnya di Simpang empat Arena Buah, dulu masih ada lahan kosong. Tapi kini sudah dibangun secara permanen oleh warga tanpa kita tahu ada izinnya atau tidak,” tambahnya.

Ia menekankan pentingnya pasal-pasal RTRW yang lebih tegas untuk mencegah pelanggaran tata ruang di masa mendatang. Pemerintah daerah, wali kota, dan wakil wali kota, menurutnya, harus bersinergi dengan DPRD sebagai pengawas utama kebijakan ruang kota.

Anggota dewan tiga periode ini mengajak semua pihak untuk kembali pada prinsip eco-friendly atau ecogreen sebagai visi pembangunan jangka panjang Kota Mataram. “Jangan sampai ruang kita yang kecil ini hanya dikuasai oleh investor besar, sementara masyarakat tidak mendapat ruang hidup yang layak,” tegasnya. (fit)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -






VIDEO