Mataram (suarantb.com) – Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) akan tampil di panggung Dunia, tepatnya di Korea Selatan dengan dua event berbeda pada 2025. Tak main-main, pada kesempatan tersebut, SPWS berencana mengangkat isu perdamaian global sebagai tajuk penampilannya.
Kehadiran SPWS ke Korea Selatan atas undangan CICS (The Center for Intangible Culture Studies). Lembaga penelitian dan perlindungan yang berfokus pada warisan budaya takbenda itu memilih SPWS sebagai salah satu dari tiga lembaga di dunia untuk menerima penghargaan JIAPICH (The Jeonju International Awards for Promoting Intangible Cultural Heritage) 2025.
Bagi SPWS, ini adalah penghargaan kedua di usia SPWS yang mencapa satu dekade, sejak berdiri pada 2015 silam. Sebelumnya, pada 2024 lalu, penghargaan serupa diperoleh dari CRIHAP (lembaga pusat pelatihan internasional Warisan Budaya Tak Benda di Asia-Pasifik).
Bagi SPWS penghargaan itu adalah sebuah kabar baik bagi perkembangan dunia pedalangan wayang Sasak. Bahwa keberadaan wayang Sasak sebagai sebuah kekayaan budaya tak benda yang hidup di Lombok, bisa mendapat tempat di panggung dunia.
Penghargaan ini dipersembahkan untuk semua pendahulu, para dalang senior, dan pegiat seni pedalangan wayang Sasak yang dengan cintanya menjaga kekayaan tradisi sarat nilai itu bisa lestari hingga hari ini.
Penghargaan ini juga buat generasi muda, para pegiat seni pedalangan yang hari ini masih setia menjalankan aktifitas mereka untuk menjadikan wayang Sasak bisa tetap hadir dan mengalir hingga ke masa depan.
“Ini adalah kabar baik bagi semua pihak yang selama ini ikut mengupayakan pelestarian Wayang Sasak, terutama para dalang yang setia menjaga tradisi hingga hari ini. Juga bagi generasi muda yang masih mau mencintai seni tradisinya sebagai akar budaya,” ujar Fitri Rachmawati, pendiri SPWS.
Angkat Isu Perdamaian Dunia
Yang tak kalah menarik, SPWS akan mengangkat isu perdamaian dunia pada tema penampilannya.
Pada penampilan tersebut, SPWS akan mengangkat cerita berlatar dua negara yakni, Indonesia dan Korea Selatan. Cerita tersebut akan berkisah tentang seorang Raja Bijaksana yang gelisah melihat keadaan dunia saat ini.
Dikisahkan, Raden Jayengrane gundah gulana melihat situasi global yang memanas. Perang pecah di mana-mana, orang-orang seperti kehilangan akal sehat, menuruti hawa nafsu mereka. Sang Raja bijaksana itu kemudian mengutus Raden Umar Maye, untuk mencari obat bagi perdamaian dunia, obat bagi ibu bumi yang terluka.
Berbekal Kembang Dangar, Umar Maye memulai perjalanan sucinya, mencari pasangan Kembang Dangar yang bisa menjadi obat mujarab bagi dunia yang tengah sakit. Di sebuah bukit sakral di Korea, Umar Maye bertemu dengan Raja Dangun–tokoh utama di Korea yang dikenal bijaksana–yang telah menunggu dengan Mugunghwa, bunga nasional Korea.
Umar Maye dan Dangun kemudian menyatukan Kembang Dangar dan Mugunghwa, menjadikannya Bibit Bunga Peramaian, obat mujarab bagi kesembuhan ibu bumi. Mereka kemudian menunjuk Wa dan Tol, dua karakter wayang Botol untuk menyebarkannya di setiap hati manusia, di seluruh dunia.
Tim SPWS yang berangkat ke Korea, yaitu Fitri Rachmawati (penggagas/pendiri SPWS), Abdul Latief Apriaman (Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak), H. Safwan ( Dalang senior, Kepala SPWS), Wahyu Kurnia (Tim Kreatif, Litbang SPWS), dan Alamsyah (Tim Kreatif SPWS). (sib)


