Sumbawa Besar (Suara NTB) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbawa meminta kepada pemerintah agar melakukan revisi tersebut Peraturan Bupati (Perbup) nomor 28 tahun 2025 tentang pemberian beasiswa pendidikan. Perbup ini dianggap bisa menimbulkan keresahan.
“Perbup ini harus direvisi, untuk memberikan ketenangan bagi para mahasiswa termasuk ketenangan bagi anggota DPRD, sehingga tidak terjadi temuan di kemudian hari,” kata Wakil Ketua I DPRD, H. M. Berlian Rayes, Jumat (26/9/2025).
Ia melanjutkan, di proses penyusunan revisi Perbup tersebut, diminta kepada semua pihak untuk bisa dilibatkan termasuk akademisi. Hal itu perlu dilakukan jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan termasuk menimbulkan polemik nantinya.
“Kita minta semua pihak ikut terlibat dalam penyusunan revisi atas Perbup itu sehingga apa yang dikhawatirkan bisa diminimalisasi,” ujarnya.
Sebelumnya, civitas akademika dari Universitas Samawa (Unsa) melakukan hearing atau rapat dengar pendapat di DPRD Sumbawa dan meminta pemerintah agar segera merevisi Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 28 tahun 2025 terkait pemberian beasiswa pendidikan. Hal itu perlu dilakukan karena dianggap diskriminatif.
“Perbup yang lahir ini tidak hanya menjadi keresahan kami (Unsa) dan kampus kain tetapi juga anggota DPRD yang sering memberikan bantuan beasiswa melalui hibah dana Pokok Pikiran (Pokir) sehingga harus direvisi,” kata Endra Saifuddin, perwakilan dosen Unsa saat rapat dengar pendapat (RPD) di DPRD, Kamis, 25 September 2025.
Ia melanjutkan, di Pasal 1 angka 12, menurut Endra, menyebutkan secara spesifik hanya Universitas Mataram (Unram) sebagai penerima beasiswa secara khusus. Pihaknya mempertanyakan nasib perguruan tinggi yang ada di Sumbawa yang selama ini melahirkan ribuan generasi emas.
“Ini yang menyakitkan bagi kami. Seolah-olah kampus-kampus lokal seperti Unsa, UTS, dan lainnya dianggap tak layak. Padahal, kami lahir dan berjuang untuk anak-anak Sumbawa,” tegasnya.
Menurutnya, kalau pemerintah bijak dan arif dalam menyusun sebuah regulasi tidak perlu mencantumkan nota kesepakatan dengan universitas tertentu. Karena pencantuman nama institusi pendidikan tertentu adalah bentuk diskriminasi yang tidak relevan dalam semangat kompetisi yang sehat dan adil.
“Kalau seandainya Unsa dianggap akreditasi dan program studinya tidak ada boleh dan kita bisa berkompetisi tentang itu tidak langsung menunjuk satu institusi pendidikan tertentu,” ucapnya.
Endra turut menyoroti bahwa penyusunan Perbup ini terkesan terburu-buru dan tidak melalui proses kajian mendalam, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
“Regulasi ini tidak memiliki dasar pertimbangan yang kuat. Saya melihat tidak ada konsideran yang memadai. Ini seperti produk hukum yang disusun hanya untuk menggugurkan kewajiban formalitas semata,” tambahnya.
Kekhawatiran praktis juga disampaikan Endra. Ia menyebutkan bahwa ada puluhan mahasiswa di UNSA yang saat ini menempuh pendidikan tanpa membayar biaya kuliah, karena masih menunggu pencairan dana hibah dari pokir anggota dewan.
“Mereka baru akan membayar tahun depan saat dana hibah cair. Kalau dewan jadi takut menyalurkan hibah karena Perbup ini, lalu bagaimana nasib mereka,” tambahnya. (ils)

