Selong (Suara NTB) – Realisasi penerimaan pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) atau galian C di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) hingga Oktober 2025 hanya mencapai sekitar Rp5 miliar. Angka ini sangat timpang dari target yang ditetapkan sebesar Rp22,81 miliar, sehingga menyisakan tanda tanya besar atas hilangnya potensi pendapatan daerah.
Merespons fakta tersebut, Ketua Asosiasi Tambang Galian C Lombok Timur, H. Maidy, secara terbuka menuding adanya indikasi kebocoran dalam sistem penarikan pajak. Ia mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk bersikap lebih serius dalam menertibkan tambang ilegal yang diduga menjadi sumber masalah.
Maidy menjelaskan, volume hasil tambang galian C yang sebenarnya sangat besar, namun tidak tercermin dalam realisasi pajak. Ia menyoroti lemahnya pengawasan, khususnya pada malam hari.
“Banyak sopir tidak diberikan kuasi (kuitansi pajak). Disinyalir ada celah permainan. Terindikasi banyak yang bocor,” ujar Maidy menjawab Suara NTB via telepon, Rabu (8/10).
Ia membeberkan modus yang diduga terjadi, di mana pengangkutan material tambang ilegal banyak dilakukan pada malam hari untuk mengelabui petugas. “Fakta di lapangan, banyak pasir yang diangkut pada malam hari ke luar Lombok Timur, penjagaan malam di perbatasan kendor,” tambahnya.
Menurut Maidy, kalaupun ada yang masih jaga, oknum pengangkut material tambang membayar Rp20.000 hingga Rp30.000. Sementara puluhan mobil tiap malam. Capaian pajak MBLB itu jelas jauh dari tarif resmi retribusi yang seharusnya dibayar. Tarif resmi untuk pasir uruk, misalnya, adalah Rp9.000 per kubik, sedangkan untuk batu pecah sebesar Rp25.000 per kubik .
Asosiasi secara tegas mendesak Pemerintah Kabupaten Lotim menindak dan menutup tambang-tambang ilegal. Maidy menegaskan bahwa tambang ilegal tidak hanya merugikan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga merusak pasar dan lingkungan.
“Tutup tambang ilegal karena merugikan. Kami yang legal rugi, masyarakat rugi, semuanya rugi,” tegas Maidy.
Ia juga menyayangkan komitmen pemerintah yang dianggap setengah hati. Meski Bupati Lotim, H. Haerul Warisin, pernah menjanjikan fasilitasi perizinan, kenyataannya hingga berbulan-bulan kemudian tidak ada satu pun penambang ilegal yang mengajukan permohonan izin secara resmi.
“Bohong semua penambang ilegal ini mau urus izin. Meski akan difasilitasi Bupati, karena sampai sekarang tidak ada satu pun yang mengajukan permohonan izin,” pungkas Maidy.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lotim, Muhsin, mengakui adanya kendala dalam pencapaian target ini. Namun, alasan yang dikemukakan berbeda dengan tudingan asosiasi.
Muksin menyebut bahwa merosotnya realisasi pajak MBLB lebih disebabkan oleh minimnya proyek fisik pemerintah dan swasta akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat .
“Tidak ada proyek yang jalan. Kalau kita mengandalkan kebutuhan rumah tangga tidak seberapa,” jelas Muksin, seraya menambahkan bahwa pengiriman material melalui tongkang dari pelabuhan juga hampir tidak ada sama sekali pada tahun 2025.
Selain itu, mulai tahun ini, 25 persen penerimaan pajak MBLB diserahkan kepada Pemerintah Provinsi, sehingga pendapatan yang masuk ke kas pemkab pun berkurang .
Muksin juga membantah data yang menyebut ada 171 titik tambang. Menurut catatan Bapenda, tambang yang resmi berizin hanya 25-36 titik, sedangkan selebihnya adalah tambang tradisional yang operasinya tidak rutin dan sulit diprediksi .
Persoalan tambang galian C di Lombok Timur tidak hanya seputar PAD. Aktivitas tambang, terutama yang ilegal, telah menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan keselamatan warga.
Sebelumnya, Peneliti dari Lombok Research Center (LRC), Dr. Maharani, juga telah memperingatkan dampak lingkungan dari aktivitas tambang MBLB yang mayoritas menggunakan sistem terbuka, seperti erosi tanah dan penurunan kualitas air. LRC berencana melakukan penelitian mendalam tentang dampak ini pada tahun 2026.
Komitmen pemerintah untuk menertibkan sektor ini sesekali muncul. Pada April 2025, Bupati Haerul Warisin menggelar rapat koordinasi untuk mempercepat penerimaan PAD MBLB dan menegakkan disiplin pajak. Satpol PP Lotim juga pernah mengambil tindakan dengan menutup tiga titik tambang ilegal di kawasan Bukit Sembalun karena berpotensi menimbulkan longsor.
Namun, upaya parsial tampaknya tidak cukup. Diperlukan kolaborasi yang solid antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang kompleks ini. Desakan dari asosiasi tambang legal ini kembali menyoroti perlunya langkah tegas dan sistem pengawasan yang lebih transparan dan akuntabel, termasuk dengan membangun jembatan timbang di perbatasan seperti yang pernah direkomendasikan oleh KPK untuk meminimalisir kebocoran.
Tanpa langkah-langkah korektif yang fundamental, potensi sumber daya alam yang seharusnya menjadi “harta karun” bagi pembangunan daerah hanya akan meninggalkan lubang-lambang galian dan pertanyaan yang tak terjawab. (rus)

